SUNGAI TERKUTUK
KEHIDUPAN telah diambil alih oleh binatang
terkutuk: Ular. Ular terkutuk ini telah melegenda karena seorang wanita cantik
yang membuatnya cemburu. Untuk menarik perhatian wanita ia memakai kata-kata
indah yang mengelabui wanita. Dosa penipuan ini membuatnya terkutuk. Ular itu
kini, berjemur di tepian sungai yang berbatu. Kehadiran ular di tepian sungai
ini merupakan salah satu kemungkinan dari akhir cerita ular dan wanita itu.
Manusia yang berhubungan dengan ular akan punya kemampuan untuk menipu dan
mengutuk. Apa pun yang berhubungan dengan ular akan terkutuk.
***
Semasa
kecil aku dilarang keras untuk pergi ke sungai. Yang melarangku bukan hanya
ibu, melainkan oma, kakak, bahkan ayah. Ayah hanya memberikan tugas untuk
diselesaikan setiap sore, saat dimana anak-anak mengunjungi sungai. Ibu
melarangku karena aku tak bisa berenang. Kakak punya alasan lain kalau aku ke
sungai saya harus bisa berlari. Aku sungguh ingin ke sungai. Hasrat itu kian
membesar tapi kesempatan kian menipis ketika di suatu sore kakakku pulang
membawa berita seorang anak jatuh ke sungai. Untung ada yang menolongnya.
Larangan makin ketat dan cerita itu membenarkan pendapat ibu dan kakakku. Keluargaku
sepakat dengan keputusan larangan ke sungai.
***
Sungai kian menarik ketika semua anak
punya bahan cerita yang membuat saya merasa asing di antara teman sekampungku.
Yang paling menantangku adalah ketika seorang anak kampung bersebelahan tak mau
kalah terlibat dalam cerita. Katanya sungai itu memang bagus dan dia sudah
mengunjunginya. Airnya jernih. Ia bakhan mengatakan pandangannya yang sedikit
buatku miris, “Laki-laki sejati tu, bisa berenang.” Cerita mereka selalu
diakhiri rencana kecil untuk ritual mereka di sungai. Saya mendekat saat mereka
mulai berembuk menentukan sungai tempat mereka akan bertemu. Cerita sungai
menjarah pikiranku.
“Tiwu Mbani[i],”
kata temanku yang berperawakan tinggi.
“Tiwu Feo[ii],”
usul temanku yang cukup gendut.
“Tiwu Ke’lso, Tiwu
Fenga,” suara anak-anak lain saling menimpal. Mereka sepakat di Tiwu Mbani.
***
Ketika mereka bubar aku mendekat ke arah
beberapa sepupuku yang kebetulan masih berdiri di dekatku. Mereka juga
pengunjung setia sungai. Ketika saya mendekat beberapa orang merapat. Seorang sepupu mengajakku, yang lain
menolak karena takut ibuku. Seorang lagi menimpalku dengan pertanyaan.
“Apakah kau bisa berenang?”
“Kau minta izin dulu atau paling tidak selesaikan tugas.”
Pertanyaan mereka seperti menghadirkan sosok ayah dan ibu
dengan larangan mereka. Aku merasa bahwa keinginanku seolah terbaca. Aku sentak
merasa takut.
“Aku tak bisa berenang,” kataku pelan (merasa malu).
“Tidak usah. Terlalu berisiko.”
“Nonton saja. Kau pasti bisa menikmati.”
“Kami akan bantu selesaikan tugasmu.” Suara mereka kini
memberi kesempatan juga tawaran dengan opsi yang cukup mudah.
“Aku juga tak bisa lari.”
“Kita bukan mau
berlari di sungai tapi berenang. Lari itu hanya permainan dan kau tak
seharusnya ikut.” Kata sepupuku memberi penjelasan.
***
Sore
harinya aku sudah di tepi sungai. Aku berjongkok di dekat air aku, seorang sepupu memberi peringatan
untuk buat ritual adat. “Nitu mera hoa aku tei dowa, nitu mera lengga
aku tei mbeja”[iii].
Mantra ini diakhiri Tanda Salib sembari menyentuh air. Dingin. Airnya tak
beriak, tenang mengalir. Besar kemungkinan sungai ini cukup dalam walau tak
begitu lebar. Suangai itu, hanya bentangan memanjang yang membuat anak-anak
berlomba berenang melawan arus atau pun membiarkan dirinya terbawa arus. Dari
tepian hingga dan sesekali ke tengah anak-anak berlari mengitari sambil
berteriak. Ya tak ada yang spesial tapi kegembiraan mereka tak ada lagi yang
lebih. Suara yang menggoda.
Kemarin larangan ke sungai baru
diingatkan, beberapa menit yang lalu aku masih di rumah mencari cara
meninggalkan rumah. Kini pakaianku sudah basah oleh percikan air. Suara
anak-anak memanggil namaku dan menyoraki namaku dan mereka tertawa. Aku
menikmatinya dari tepian walau hasrat sudah di ujung kaki yang sudah tenggelam
sejengkal.
“Buka baju dan celanamu.” Kata sepupuku mendekat ke arahku
sambil mengulur tangannya.
Semua anak
telanjang. Pakaian mereka sudah dicuci dan dijemur di batu-batu. Aku baru masuk dan membasahi badanku.
Sepupuku mengajariku berenang hingga aku akhirnya berani sendirian. Aku mulai menikmati dinginnya air di bawah
matahari sore. Seminggu sepupu-sepupuku memungkinkan bisa ada di sungai saat
sore hari.
***
Di suatu sore secara tiba-tiba anak-anak
berteriak “lari”. Mereka memungut pakaian mereka lalu berlari sebisa mungkin.
Saya masih menikmati berenang karena pangalamat pertamaku bisa berenang. Ada
beberapa anak yang tak sempat mengambil pakaian. Mereka berlari telanjang,
menuju kampung atau pun bersembunyi. Saya masih di tepian mencari pakaian saya
yang tak ada lagi di tempat. Saya naik ke batu dan berjemur. Suara bentak,
teriak dan marah-marah, mencari maki anak-anak yang dikatain, penipu, pencuri,
kurang ajar. Rasa senang saya lenyap sekejap kaku. Kulihat lelaki berambut
putih berhenti mencaci. “Doja.” Sekali kudengar mana lelaki tua yang kini di
hadapanku disebut.
“Kau juga!” aku
bingung.”
***
Aku
takut. Dari atas bukit seorang teman memanggil namaku untuk lari. Aku tak
mengerti masih berpikir bahwa lari adalah bagian dari permainan. Aku tak ingin
terlibat. Melihat anak itu, pria di hadapanku marah lagi sambil mengacungkan
jarinya. Ketakutan memacuku berlari. Kupungut salah satu anggokan baju yang
ukuran memang bukan untukku. Kupaksakan saja. Dia tampak sangat marah. Mencaci
nama anak itu, bahkan orang tuanya. Rupanya dia tahu baik tentang
teman-temanku. Dia kembali mengejar. Aku terpeleset dan jatuh sedikit luka di
lutut dan siku. Kubayangkan adalah ayah dengan pertanyaan yang sulit dan ibu
dengan nasihat panjang. Kesulitannya akan sama sulitnya dengan menyembunyikan
lukaku.
***
Senja itu cerita setiap anak membawakan
cerita dari sungai. di setiap rumah sekampungku bercerita tentang sungai. Aku
katakana pada ibuku bahwa sore tadi aku jalan dengan Tony anak tetanggaku. Tony
mengatkan pada ayahnya bahwa ia membantuku mengisi tanah di polibek. Sore itu,
sebagian besar keluarga menderita kehilangan pelengkapan dapur. Ibu Toni
mencari priuk kecil untuk masak air, Ibu Ady mencari pisau, Ibu Albert mencari
sekantung garam yang telah lenyap. Anak-anak bersikap biasa-biasa saja.
Tiba-tiba seorang ibu memanggil-manggil nama anaknya yang belum sampai di
rumah. Kampung mendadak hiruk pikuk. Aku mendengar suara ibu itu tapi suara
ayah menutupnya.
Berapa banyak koker yang
kamu buat hari ini?
“Saya
diajak temani Tony ke sawah.”
***
Mereka
seharian: hinggal kelelawar keluar dari sarang dan suara ibu-ibu memanggil
anak-anak mereka terdengar. Sungai telah menyita perhatian dan waktu mereka
sungguh habis di sungai-sungai itu. Mereja lupa jam sekolah. Tak ada sungai
yang lebih bagus dari yang mereka sebut. Aku hanya sore harinya. Sungai itu
menyita waktu mereka dan cerita mereka kini ada bagian di mana aku ada dalam
satu babaknya.
Seorang anak kecil, telanjang, menggigil
kedinginan di sisi pria tua itu. Ia tertangkap basah di tepi sungai bersama
barang-barang. Ia ditinggalkan teman-temannya.
“Anak siapa ini? Pakaian, alat dapur, pisau, piring,
senduk, priuk milik siapa ini?” Suara pria itu diikuti suara langkah kaki
segerombolan orang menuju jalan.
“Apakah anak-anakmu sudah mirip ular karena mandi di tempat
ular membasuh dan ber jemur di tempat ular mengeringkan kulit. Kemarin kerbauku
berendam di sungai itu setelah terlepas.
Siapa telah jadi penipu? Dengan cerita apa kamu ditipu?”
Aku menerobos kerumunan dengan menggenggam baju dan celana
yang kupakai dari sungai. Ayahku dan ibu menatapku tajam.
[i]
Tiwu Mbani. Dalam
Bahasa Ende-Lio, Tiwu artinya
genangan air yang bisa dipakai juga untuk menyebu t sungai atau danau. Mbani,
artinya karang.
[ii]
Tiwu Feo. Feo
artinya Kemiri.
[iii] “Nitu
mera hoa aku tei dowa, nitu mera lengga aku tei mbeja” Doa adat ketika
memasuki tempat baru terutama sungai sebagai perkenalan diri terhadap nitu, roh yang menjaga suatu tempat.
Ritual ini dibuat untuk menghindari nitu
mega yang bisa menyebabkan sakit.
Comments