“Touching a Void”


Malam yang dingin dengan rintikan hujan dan hembusan angin. Aku dan teman-temanku masih menunggu datangnya angkutan yang bisa membawa kami ke kaedai penginapan. Sebuah mobil Pick up terbuka datang dan membantu kami. Bunyi tarikan gas kian meninggi sepanjang jalan yang semakin memuncak dan kelokan jalan yang kian melengkung. Kubalikan arah pandanganku ke belakang. Sungguh suatu keindahan: cahaya lampu hiasi Garut dan Ciseurupan yang terletak di kaki Gunung Papandayan. Aku semakin jauh dan kurasakan cahaya itu hilang muncul ketika terhalang oleh pepohonan dan bukit-bukit kecil.
Pick up itu berhenti di depan sebuah kedai yang gelap dan sepi. Malam itu hanya beberapa kedai yang tertangkap mataku. Dingin menembus pakaian kami. Kami masuk ke sebuah ruangan belakang yang ada di balik kedai. Kedai ini memang sengaja dibuka untuk pendakian kami. Kedai itu tampak basah setelah diguyuri hujan seharian. Seonggok kayu api terkumpuk di susut kedai. Perlahan kami mengelilingi api yang menyala tersebut sekadar menghangatkan jari kaki dan tangan yang terasa membeku.Cahaya api membuat aku melihat jelas wajah-wajahyang letih dan pasrah. Api itu perlahan meredup dengan habisnya kayu yang disiapkan. Satu persatu berbalik masuk dalam belaian hawa dingin di atas papan lembab dalam kelelahan.
Aku tak dapat menipu diriku kalau dingin telah membuta aku enggan berbicara. Bibirku keram jari-jariku yang dihagatkan api kini mulai membeku. Dingin memaksa kami untuk cepat-cepat bagun. Kabut yang semalaman menutupi keindahan parlahan menjauh dari penginapan kami. Aku sedikit terperangah saat tahu bahawa sejak malam aku berada di tempat yang indah. Kuliahat jelas tiang asap putih tegak di antara dua tebing terjal. Aroma belerang yang terbawa angin tercium olehku. Orang-orag desa bergegas ke kubun. 
Kami bersiap. Pendakian kami tanpa guide dengan keyakinan bahwa kami semua bisa membawa diri. Namun aku sendiri bingung siapa yang akan menuntun karena ini pendakian pertamaku. Aku sedikit ragu dengan pendakian itu tetapi aku juga tidak bisa tinggal sendirian di tenda darurat milik warga. Aku sedikit malu dengan Mba Lisa. Ia adalah satu-satunya perempuan yang ikut dalam pendakian kami. Dia memang sudah sering mengikuti poendakian bersama JELADRI. Aku kagum padanya. Mba Lisa kemudian mengulangi kata-kata ketua ekspedisi Papandayan ini,
 “Nyong, dari pendakian ini akan tergambar siapa kita sesungguhnya.” 
“Tidak ada yang lebih penting dari rasa kebersamaan yang membuat kita harus saling menjaga,” lanjutnya. Aku hanya mengangguk. Carrier 75 liter telah melekat di pundakku. Kelihatannya aku cukup gagah. “Bisa!”, kataku mencoba meyakinkan diriku.
Kuangkat pandangan menatap jalanyang terbentang tanpa keraguan. Aku masuk dalam barisan dan mulai mendaki.  
Pendakian kami kini menuju Pondok Selada yang menjadi tempat persinggahan terakhir dan tempat penginapan kami. Masih terasa suasana mengerikan ketika melihat kawah yang menganga lebar dengan air yang menggelembung dari dalam perut bumi. Kami harus berjalan di antara lubang berbahaya itu. Aku rasakan hawa panas di sekitarnya dapur magma dan kami harus melintas di atasnya. Ada rasa takut tetapi hasrat kami mengalakan semua itu. Letusan Papandayan beberapa tahun yang lalu membuat gunung ini tampak berbahaya. Aku  semakin terantang tuk menggapai puncaknya. Jalanan dipenuhi kerikil yang tajam terkadang kaki harus menjejak pada tanah yang licin. 
Keindahan dan kehancuran di Papandayan bedakan. Tanah yang lonsor dan erosi yang mengikis pegunungan ini membuat tebing-tebingnya sedikit curam. Carrier yang berat pun terkadang memaksa kami tuk beristirahat. Ketika mendekati tempat istirahat, kakiku  berpijak pada batu yang lapuk. Aku terjatuh dan carrierku terlepas dari pundak. Rasa sakit cukup membekas dengan goresan luka di kaki. Hatiku geram semakin tidak berdamai dengan keadaan itu. Untunglah tak ada wajah ejekan dan tawa yang membuatku kian marah.
Dalam beberapa  jam kami tiba di Pondok Selada dan hujan kembali turun. Tiga buah tenda segera dibangun di atas tanah yang sedikit miring. Setelah menyimpan barang kami segera bersiap menuju puncak. Hujan sedikit redah dan aku kembali  masuk dalam barisan. Belum jauh meninggalkan Pondok Salada hujan kembali temani kami. Kami harus menelusuri jalur air untuk mencapai puncak Papandayan.
Apa tidak ada jalan lain? ”, suara dari orang yang di tengah tengah barisan“.
Mungkin ada,tapi yang saya tahu ya ini”, jawab seorang yang berada di barisan terdepan“.
Jalan saja!”,
“cape”
“Haus”
“Jangan banyak mengeluh”, Suara itu kudengar silih berganti entah dari mulut yang mana.
Kami harus terus mendaki bukit-bukit batu yang licin dengan aliran air yang cukup dingin. Terkadang menuruni lembah kemudian menatap kembali bukit yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kami mempercepat langkah untutk mendapatkan tempat istirahat sebelum mencapai puncak. Aku keluar dari barisan untuk meneguk air dari dalam botol yang kubawa.  
Kini Jeladers berada di antara hamparan edelweis yang tengah bermekaran. Sebuah pemandangan indah dan menyejukan di tengah keletihan. Ini sungguh perisirahatan yang mendamaikan. Edelweis yang baru tumbuh itu memenuhi padang yang terbuka lebar. Ada kebanggaan dalam hati ini ketika kakiku menjejaki puncak Papandayan yang penuh pepohonan. Senyum dan tawa yang tertahan selama perjalanan kini tampak dan wajah yang bahagia tak dapat disembunyikan lagi.
Rasa letih kini berganti kagum. Inilah sabana yang rumputnya edelweys dengan di selingi pohon yang tegak berdiri. Pohon-pohon itu pun seakan menatapku yang lemah. Namun aku rasakan sungguh udara kian cerah, rintikan hujan seperti menyikir pergi oleh kedatangan cahaya matahari. Kicau burung dekat begitu melekat seperti siul-siulan yang hilang muncul dari sela-sela pohon yang rimbun. Dataran itu begitu menyatu dengan tanah yang basah seperti dingin yang melekat sepanjang pendakian kami. Kesunyian mulai terasa dan memberikan kesan yang membuka telingaku yang sudah biasa dengan kebisingan. Jauh dari kegaduhan kota dengan segala hiruk-pikuknya.
Padang edelweys. Mataku terhenti pada bunga abadi yang memenuhi tanah. Tatapanku kian lekat seakan tak mau aku jauh. Aku tak tahan dengan wanginya. Hasrat medobraku tuk segera meraihnya. Kupandangi lagi edelweys itu sembari mengulurkan tangan tuk memetikanya. “ Hei... kau! Mau apa kau?
Tanganku kian panjang meraih setangkai edelweys. Sebelum bunga itu terlepas dari tanah ada suara yang menggelegar dari belakangku.
“Hei perusak... Matamu buta apa? Seperinya suara itu keluar dari mulut satu orang.
Aku tersentak dan balik bertanya, “Apa?”
Nadanya kian meninggi, “gila lu bunga bagus-bagus dipotong.”
“Mau ngapai itu bunga?
“Koleksi” jawabku santai
“Trus lu pikir seenaknya ngambil gitu aja?”
“Cuman setangkai”
“ Trus gimana klo semua orang datang dan mau memetik satu? Berapa tangkai yang akan hilang dari tempat ini?”
 “Kenapa?”
“Kalau hanya mau koleksi ngapain datang jauh-jauh?” 
“Emangnya ga ada hal lain yang menarik? Lihat saja kan sudah cukup?”
“Ada banyak, keheningan yang bisa buat kita berpikir jernih”
“Klo masih mau ambil silakan lanjutkan sendiri pendakianmu dan cari semua hal yang mau kamu koleksi!” “Cuma satu dan saya janji akan menjaganya.
Edelweysnya kan sudah terpotong. Apa tidak lebih baik saya membawanya pulang dan menyimpannya?”

Semua terdiam dan aku bingung tak tahu apa lagi yang harus kukatakan.

Perjalanan pun berlanjut menuju puncak. Di puncak Papandayan para Jeladers membuat ritual singkat. Sebaris doa dan ucapan selamat. Bendera Jeladri dikibarkan di puncak Papandayan. Penghomatan dilakukan selayaknya dan pegukuhan anggota baru dijalankan secara singkat. Tiba-tiba sunyi berubah menjadi sepi yang menakutkan. Kami menghadap sunyi sambil merangkak turuni puncak penuh perhitungan. Dengan dada yang berdegup kencang dan kaki yang telas salah arah oleh kebingungan, memutar-mutar di jalan yang sama. Takut. Ketika sepi kami berganti suara yang menakutkan. Auuuungan macan tutul dan jejaknya jelas di tanah yang basah.Aku akan pergi jika suaramu kembali terdengar. Kini aku masih bisa memandang edelweysku dari baik kaca tampa menyentuhnya. 


Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK