KESETARAAN GENDER
Perkembangan
zaman dan perubahan pola pikir dan kebudayaan kini mengangkat dan penjadikan
perempuan sebagai pusat perhatian. Makna kehadiran seorang perempuan yang
memprihatinkan saat ini menunjukan
kenyataan pahit yang secara tidak sadar membelenggu masyarakat. Isu
tentang perempuan kemudian diangkat dalam masalah ketidaksetaraan dan gender.
Kualitas perempuan seakan direndahkan oleh
kodrat sebagai perempuan dengan keadaan terbelenggu secara biologis dan
sosial. Secara biologis perempuan terikat dengan siklus reproduksi tetapi
secara sosisl budaya patriarkis yang menempatkan perempuan dalam kedudukan dan
peran yang tidak setara yang menimbulkan sikap marjinalisasi, subordinasi, dan
steriotip. Inilah kenyataan diskriminasi yang sungguh menyudutkan kaum perempuan.
Ketidak- adilan dan gender dilembagakan sehingga menjadi masalah yang terstruktur.[1]
Gender
mengacu kepada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksikan oleh budaya masyarakat. Pemahaman awal gender menegaskan bahwa
status perempuan lebih rendah dan terbelakang di berbagai bidang. Sejarah
mencatat bahwa status perempuan lebih rendah dari laki-laki. Kesempatan kerja perempuan
tidak menjadikan kualitas hidup perempuan lebih baik. Beban kerja perempuan
lebih berat. Mereka mengalami double day
sebagai konsekuensi peran gender. Perempuan harus melakukan dua peran sekaligus
dalam sehari, peran domestik mengurus rumah tangga dan peran publik mencari
nafkah. Kenyataan ini menunjukan ketimpangan sosial di mana perempuan menjadi
korban.[2]
Keadilan
gender adalah suatu kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Keadilan itu dapat terwujud dengan mengetahuan akar permasalahan ketidakadilan
gender tersebut. Hal ini akan memudahkan kita menghentikan masalah
ketidakadilan gender tersebut. Keadilan gender mengantar perempuan dan laki-laki
menuju kepada kesetaraan gender. Dengan demikian terciptalah kondisi dan status
untuk memperoleh kesempatan yang sama dan menikmati hak-haknya sebagai manusia.
Dalam kesetaraan ini terciptalah budaya saling mengahargai persamaan dan
perbedaan.[3]
2. Gender dan Permasalahannya
Ketidak-adilan
dan diskriminasi gender merupakan suatu sistem dan struktur di mana baik
laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sitem tersebut. Berbagai
pembedaan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara
langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang
telah berakar dalam sejarah, adat norma, maupun berbagai struktur yang ada di
masyarakat.[4]
Pada
bagian ini saya ingin memberikan sebuah contoh kasus yang berkaitan dengan
keadilan gender. “Hidup dengan Seorang
Monster” merupakan sebuah kisah dari seorang ibu yang mengalami KDRT. Sore itu datang seorang perempuan
setengah baya, namanya Ibu Agnes (47 tahun) ke tempat seorang suster, sebuah Crisis Center.perawakannya kurus kecil. Ia
nampak sulit untuk mengawali pembicaraan walau akhirnya lancar dan tak
terbendung. Ibu Agnes mempunyai seorang suami yang menurutnya seorang pekerja
keras, taat beragama, kelihatannya tanpa cacat. Ia sendiri sudah membayangkan
kehidupan keluarga separti keluarga Nazaret. Pada awalnya keluarga mereka
sangat bahagia.
“Setelah
enam tahun pernikahan suaminya mulai menunjukkan sikap disiplin yang sangat
tinggi. menurut Ibu Agnes hal itu sudah berlebihan. Mulai dari bangun pagi
samapai malam sang istri diberi jadwal yang ketat. untuk melakukan segala
pekerjaan rumag termasuk menjaga anak-anak mereka dan mencatat aktivitas
mereka. Kesalahan berujung pada hukuman cambuk yang mmenurut sang Bapak adalah
cara pencapaian disiplin. Ketika Ibu Agnes membela anak-anaknya, ia sendiri
juga menjadi sasaran amukan suami. semua hal dalam rumah diatur oleh suami
bahkan sampai gaya rambut, model baju, seluruh anggota keluarga. tidak ada satu
pun yang bisa memilih.
Kekerasan
bertambah sering dan dalam berbagai bentuk baik fisik, makian, ancaman hingga
diusir dari rumah. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang keadaan ini dan
kesan orang tentang keluarga Ibu Agnes. Suaminya tetap dianggap disiplin,
berpendidikan. tidak ada yang tahu kalau di balik baju, tubuh mereka biru
lebam.
Ibu
Agnes tak bisa lagi menahan penderitaannya dan saat itu ia ingin menceraikan
suaminya. Setelah masa pendampingan bersama seorang suster Ibu itu akhirnya
menceraikan suaminya. Ia dan anak-anaknya meninggalkan rumah. Beberapa bulan
kemudian mantan suaminya itu meninggal karenaserangan jantung.[5]
Ketidak-adilan
gender nampak dalam berbagai bentuk. Pertama,
marjinalisasi yang disebut juga sebagai pemiskinan ekonomi. Sebagai contoh banyak
pekerja perempuan yang tersingkir dan miskin pembangunan yang terfokus kepada
laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis pekerjaan yang dianggap
sebagai keterampilan laki-laki. Kedua, subordinasi
yang menunjukan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan di berbagai kehidupan. Ketiga, pandangan stereotip merupakan suatu pelabelan atau
penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. misalnya, pandangan
terhadap perempuan itu perayu dan dianggap cocok untuk bekerja di bagian
penjualan. Keempat, kekerasan
terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran merujuk pada tindakan fisik
maupun integritas mental seseorang. Kelima,
beban kerja ganda. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan
mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan rumah tangga, sehingga bagi mereka yang
bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus
mengerjakan pekerjaan domestik.[6]
Masalah
yang diangkat dalam kisah “Hidup dengan Seorang Monster” merupakan salah satu
masalah bertentangan dengan prisip keadilan gender. Masalah yang disorot secara
khusu adalah kekerasa dalam rumah tangga (KDRT) tetapi bias masalah dapat
dilihat dari aspek-aspek lain. Aspek sosial budaya, ekonomi juga dapat
dikaitkan dalam masalah tersebut sebagai suatu latar belakang. Berhadapan
dengan masalah sosial ini bagaiman
Gereja Katolik menaggapinya?
3. Ajaran Sosial Gereja sebagai Tanggapan Geraja terhadap
Masalah Gender
Gereja
sunguh menyadari perubahan zaman yang juga memperngaruhi pola pikir dan
tindakan masayarakat pada umumnya. Perkembagan dan perubahan itu perlu dihadapi
dan ditanggapi. Prinsip aggionarmento
merupakan tonggak sejarah perubah arah dari ajaran gereja katolik dalam konsili
vatikan II. Konsili ini menyesuaikan tanda-tanda zaman yang makin menuntut
keterbukaan, demokrasi, bebas dari segala bentuk ketidakadilan termasuk
keadilan bagi kaum perempuan, serta penghormatan terhadap setiap pribadi
manusia. Gereja berusaha peka terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan
peledakan penduduk, kemiskinan, perang, terror, kekerasan terhadap perempuan,
dan semua masalah yang berujung kepada kesengsaraan dan penghinaan terhadap
pribadi.[7]
Sebelum
dikeluarkannya ensilkik Paus Yohanes Paulus XXIII, perempuan jarang disebut
dalam dokumen-dokumen sosial. Pembahasan tentang perempuan hanya secara
implisit dalam pebahsan tentang manusia atau pribadi dalam konteks keluarga.
Saya sendiri menilai masalah gender merupakan sebuah tema khusus jika
dibandingkan dengan masalah-masalah sosial lain seperti kerja, buruh dan
majikan yang mana menjadi masalah yang diangkat lansung berkaitan dengan tujuan
ensiklik atau pun Surat Apostolik. Saya mencoba menemukan gagasan tentang perempuan
terutama berkaitan dengan tema keadilan gender. Dari sejumlah ajaran tersebut
saya ingin menunjukan suatu arah pengajaran yang berkembang dan mendalam dari
pihak Gereja.
Dalam
Ajaran Sosial pertama dari Leo XIII, Rerum
Novarum 1891 tentang situasi kerja, perihal kondisi kaum buruh. Gagasan tentang perempuan secara
implisit dalam pembahasan tentang keluarga. Leo XII berpadangan bahwa
otoritarian dan budaya paternalistik memberikan pembedaan dan pembagian peran
antara perempuan dan laki-laki. Bagi Leo XIII, keadilan dalam dunia kerja
antara laki-laki dan perempuan harus dapat diwujudkan. Kenyataan menunjukan peran
ganda seorang perempuan baik sebagai pengurus rumah tangga, ibu, atau pun secara
ekonomi mencari nafkah. Di sini keadilan
dalam dunia kerja sama sekali tidak ada.[8]
Dengan
memberikan penekanan terhadap pribadi saya ingin memasukan masalah keadilan
gender dalam konteks Gaudium et Spes.
Gaudium et spes (GS) mendalami dan
mengembangkan kesadaran diri Gereja sebagai suatu Umat dalam Masyarakat., yang bersama-sama
dipanggil Kristus untuk mencintai dan melayani Allah, satu sama lain dan
segenap keluarga manusia.
GS
merupakan (Konstitusi Pastoral tentang Gerja dalam Dunia Modern) pusat dari
Ajaran Sosial Gereja yang lahir dari semangat Konsili Vatikan II. Dokumen ini
memberikan pendasaran yang tentang manusia sebagai pribadi. Adabeberapa alasan
yang dikemukan bahwa penggunakan kata homo
dalam teks aslinya untuk menyatakan
pribadi manusia daripada dinyatakan sebagai vir yang menunjuk pada laki-laki. Kebenaran yang fundamental dinyatakan
sebagai suatu perbedaan bukan sebagai diskriminasi baik jenis kelamin, status
sosial budaya, bahasa dan agama.[9]
Kalangan
perempuan kini menyadari situasi yang
tidak seimbang dengan melihat ketidak-seimbangan dari berbagai latar belakang
budaya, ekonomi, sosial, atau juga hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Hubungan sosial yang baru sebagai refleksi terhadap interpretasi patriarkat yang memberikan
kesempatan terhadap kebangkitan perempuan.[10]
GS
art. 12 menunjukan dengan jelas makna martabat pribadi manusia. Pandangan Gereja pada bagian pertama Gaudium
et Spes menjadi pusat dan puncak pembicaraan tentang pribadi. Manusia merupakan
pusat dan puncak penciptaan Allah. Dengan mendasarkan pandanagn terhadap Kej.
1:27 “Ia menciptakan mereka laki-laki dan perempuan”, Gereja menunjukan kaitan
antara martabat pribadi manusia dengan keadilan gender. Keluhuran martabat
manusia juga disasari oleh keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut gambar
Allah.
Dengan
melihat basaha yang dipakai dalam dokumen konsili nampak jelas bahwa Gaudium et
Spes menekankan dialog persaudaraan, persaudaraan bukan hanya laki-laki
tetapi dengan perempuan juga.[11]
Dalam Bagian I bab kedua (Art. 23-27) berbicara tentang masyarakat manusia. GS.
Art. 23 secara khusus menunjukan hubungan antara perkembangan teknologi dan
dialog persaudaraan. Perkembanagnan teknologi membantu hubungan timbal balik.
Namun kesempurnaan dalam persaudaraan dan kebersamaan itu hanya akan tercapai
jika saling menghormati dan menghargai martabat pribadi.
Setelah
melihat gender dari sudut pandang budaya yang lebih memberi gambaran tentang
kesenjangan gender dalam Ajaran Sosial Gereja kita bisa temukan perkembangan
yang perlahan namun pasti. Perkembangan tersebut mengarahkan kita kepada
kesetaraan gender yang berujung pada keadilan gender. Perkembangan kesadaran
itu nampak dalam GS. Art. 55, di sini dijelaskan bahwa manusia adalah pencipta
kebudayaan. Manusia itu adalah laki-laki dan perempuan. Saat ini
meningkatnya kesadaran akan otonomi dan
tanggung jawab sehingga kita dituntut untuk membangun dunia yang lebih baik
dalam kebenaran dan keadilan.
Kesadaran
akan kesetaraan kini memberikan tempat bagi yang lebih luas bagi seorang perempuan
dalam budaya kehidupan. Perempuan dapat mewujudkan dirinya sesuai dengan
kodratnya sebagai perempuaan setiap orang diharapkan memahami budaya perempuan
dan terlibat di dalam kebudayaan perempuan.[12]
Gagasan ini secara uum termuat dalam GS.
”… Kaum perempuan memang sudah berperan serta dalam hamper segala bidang
kehidupan. Tetapi seyogianya mereka mampu menjalankan peranan mereka sepenuhnya
menurut sifat keperempuanan mereka. Hendaknya siapa saja berusaha, supaya
keterlibatan khas kaum perempuan yang diperlukan bagi perihidup budaya diakaui
dan dikembangkan.” (GS. Art. 60).
Dalam
Octogesima Adveniens (OA), 1971 (
Sebuah Panggilan untuk Bertindak) di sini Paus Paulus VI memberikan pemahaman
tentang pentingnya undang-undang untuk mengakhiri diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Selain itu perlu ditetapkan relasi-relasi kesetaraan hak serta sikap hormat
terhadapa martabat mereka. Kesamaan yang dimaksudkan adalah perlindungan
terhadap panggilan perempuan yang khas, kebebasannya sebgai pribadi, serta
kesetaraannya untuk berperan serta dalam
kehidupan budaya, ekonomi, sosial, dan politik (OA. Art.13). Dalam
pandangan Riley, Surat Apostolik Paus Paulus VI sungguh mengangakat problem perempuan
sebagai perempuan.[13]
Perkembangan
Ajaran Sosial Gereja kian terasa di zaman modern ini. Gereja pun berusaha
melihat hal-hal positif yang berkembang dan mencoba mengambil makna dari
perubahan zaman tersebut. Dalam Ensilik
Pacem In Terris ( Perdamaian Dunia) 1963, Paus Yohanes XXIII menegaskan
bahwa perdamaian perlu didasarkan atas suatu aturan yang ditegakkan di atas
keberan, dibangun sesuaia dengan keadilan, dihidupkan dan diintegrasikan oleh
cinta kasih, dan dipraktek dalam kebebasan.[14]
Dalam
ensilkik ini dikemukakan peran perempuan dalam hidup berpolitik. Hal ini
diangkat sebagai ciri-ciri masyarakat modern. Perempuan sekarang menonjol dalam
kehidupan berpolitik. Barangkali di negara Katolik fenomena ini lebih
berkembang dibandingkan dengan negara lain dengan budaya yang berbeda. Perempuan
semakin menyadari martabat hakiki mereka dan mulai berperan aktif serta tidak ingin
dinyatakan sebagai sarana. Perempuan kini mulai menuntut hak maupun kewajiban
mereka (PT. Art.41). Dengan demikian perempuan mulai menunjukan kemampuannya
mengekspresikan dirinya secara bebas, membuat pilihan-pilihan dan
berpartisipasi dalam hal-hal yang ia anggap mampu baik dalam kehidupan
berkomunitas baik msyarakat maupun gereja.[15]
Ensiklik
Pacem In Terris juga berbicara tentang perubahan sosial dengan menekakan
kebebasan pribadi dalam memilih dan berindak berdasarkan hak (PT. Art.11-27)
dan kewajiban (PT. Art. 28-35). Paus juga mengharapkan agar semua tindakan kita
dijiwai oleh cinta kasih. Dokumen ini merupakan tema yang memiliki kekuatan
yang mendukung kaum perempuan untuk berjuang untuk keadilan dalam Gereja dan
dunia, berjuang untuk kebebasan, dan mengubah struktur yang membelenggu hidup
mereka.[16]
Dalam
Laborem Exsercens (1981), Paus
Yohanes Paulus II secara eksplisit memberikan pandangan tentang peran dan
panggilan perempuan. Ensilkik ini hendak memperkenalkan bahwa perempuan bekerja
di luar rumah sebagai lanjutan tradisi bahwa peran perempuan yang mendasar
yakni bertanggungjawab terhadap keluarga dan peran dasar laki-laki yang
bertanggungjawab terhadap ekonomi rumah tangga.[17]
Laborem Exercens Art.19 menjelaskan bahwa perlu ada penilaian sosial ulang
terhadap peran ibu, terhadap kebutuhan anak, kasih sayang yang membantu
perkembangan menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Suatu hal yang positif
ketika seorang perempuan mendapatkan kebebasannya tanpa diskriminasi.[18]
Dalam
perkembangan Gereja Katolik masih memiliki sejumlah ajaran yang berbicara tentang
perempuan tetapi sengaja tidak dimasukan karena ketidajksesuaian konteks. Paus
Yohanes Paulus II masi memiliki dua Surat yang membicarakan tema perempuan
yaitu, Familiaris Consortio dan Mulieris Dignitatem. Saya ingin
menunjukan bahwa perhatian Gereja terhadap pperempuan juga berkembang sesuai
tuntutan dan perubahan zaman.
Masalah
yang dihadapi Ibu Agnes dalam kisah “Hidup dengan Seorang Monster” menunjukan perlawanan
terhadap Ajaran Sosial Gereja tertuma. Kekerasan yang ditunjukan oleh suami
kepasa Ibu Agnes dan anak-anaknya menunjukkan suatu pelecehan terdadap martabat
pribadi manusia yang sangat ditentang Lumen
Gentium. Selain itu ayah menjadi pengatur model pakaian, gaya rambut,
dankebiasaan seluruh anggota keluarga. Hal ini menunjukkan adanya penekanan
terhadap kebebasan, hak dan kewajiban pribadi. sikap Ibu Agnes yang ingin
bercerai adalah suatu perlawanan dan penbegakkan akan hak dan kewajibannya. .Perempuan
kini mulai menuntut hak maupun kewajiban mereka (Pacem in Terris. Art.41)
4. Penutup
Saya
pernah membaca suatu tulisan yang menyatakan “dahulu dipandang sebelah mata kini menjadi pusat pandangan mata”.
Hal ini merujuk pada perubahan dan perkembangan gerakan emansipasi dan yang
juga masih menyiratkan pertanyaan jika kita ingin mendalami persoalan
perempuan. Masalah keadilan gender yang diangakat ini dipahami sebagai
pemahaman dan penilaian yang berat sebelah terhadap keberadaan perempuan dan
laki-laki. Kesetaraan dan keadilan gender harus diperjuangkan oleh laki-laki
terhadap sistem masyarakat dan tradisi yang memberi pengaturan dan nilai-nilai
gender yang timpang. sistem nilai seperti itu perlu diperbaiki agar masyarakat
menjadi pelaku aktif pembangunan. Perjuangan tersebut harus diwujudkan dengan
memberikan kesempatan, peluang, dan kedudukan,
yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam pembagian tugas dan
peran.
Daftar Pustaka
J. Schultheis, Michael Sj, Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja, DeBerri dan Peter Henriot (ed.)
Yogyakarta: Kanisius, 1988
Kristiyanto, Eddy, Diskursus
Sosial Gereja: Sejak Leo XIII, Malang: Dioma, 2004
Riley, Maria OP, Transforming Feminism, Sheed and Ward:
Washington, DC, 1989
Vincentya HK, dkk. Kesetaraan
dan keadilah gender dalam
prespektif Agama Katolik, Jakarta: Kementrian
Negara Republik Indonesia, 2004
Seri Dokumen Gerejawi, Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun
1891-1991( dari Rerum Novarum smpai Centesimus Annus, Jkarata: DOKPEN KWI,
1999
Comments