Penderitaan Sang Ekaristi Inspirasi Jiwa Legioner
Pengantar
Penetapan tahun 2012 sebagai tahun ekaristi menunjukan sebuah keprihatinan dan perhatian Gereja Keuskupan Agung Jakarta terhadap peran ekaristi. Gereja Keuskupan Agung Jakarta mewujudkan semangat ekaristi tersebut dalam tema APP tahun 2012. “Dipersatukan dalam ekaristi diutus untuk berbagi”. Dalam kalimat ini termuat makna ekaristi sebagai perayaan iman yang kita rayakan dalam tanda. Iman yang kita rayakan itu adalah iman akan Kristus sebagai "Sang Ekaristi". Dengan mengikuti perayaan ekaristi umat diharapkan untuk mewartakan Kristus dalam kata-kata dan perbuatan. Dalam kehidupan harian umat diharapkan menjadi palayan kasih bagi sesamanya.
Sebagai anggota gereja kita kini dalam masa prapaskah. Ketika menyebut masa prapaskah yang muncul dalam bayangan kita adalah tobat, puasa, pantang, aksi puasa, jalan salib, dan masih banyak yang lainnya. Dalam masa ini kita juga diberikan waktu untuk merenungkan penderitaan Kristus. Kita juga ingin mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Kita tidak hanya mengambil bagian dalam penderitaan Kristus ketika masa prapaskah ini melainkan juga dengan merayakan ekaristi. Dengan merayakan ekaristi kita mengenangkan seluruh peristiwa hidup Yesus termasuk penderitaan-Nya.
Kita hidup di tengah kenyataan dunia yang penuh dengan tantangan. Keseharian hidup yang diwarnai dengan tantangan dan masalah. Dimensi penderitaan kini meluas dari fisik hingga psikis dengan segala beban pekerjaan kita. Sederet pertanyaan bisa saja muncul untuk menggali iman kita. Ekaristi yang bagaimanakah yang akan kita hayati berhadapan dengan masalah kita? Apakah kita menjadikan hidup sebagai ekaristi? Apakah kita masih bisa berbagi? Bagaimana jika semua pertanyaan ini diarahkan kepada mereka kita yang menyebut diri sebagai Legioner?
Penderitaan Kristus sebagai Kurban Keselamatan
Ketika hendak membicarakan tentang penderitaan saya teringat dengan surat apostolik Paus Yohanes Paulus II, Salvifici Doloris (Penderitaan yang menyelamatkan). Dalam pengatar Paus ingin memberikan pemahaman tentang penderitaan dalam perspektif Kristiani. Dengan mengutip ungkapan Rasul Paulus dalam surat Dengan mengutip ungkapan Rasul Paulus dalam surat Dengan mengutip ungkapan Rasul Paulus dalam surat Dengan mengutip ungkapan Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolese, “Dalam dagingku aku menggenapkan apa yang kiurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu Gereja” (Kol. 1:24). Penderitaan dilihat sebagai tindakan untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Dengan mengambil bagian dalam penderitaan Kristus kita mengalami sukacita. Keikutsertaan kita dalam penderitaan Kristus akan membantu kita memahami arti penyelamatan dari penderitaan. Keikutsertaan itu juga ditunjukan dalam perasaan dan sikap yang mengarahkan kita pada rasa hormat, belas kasihan dan iman.[1]
Surat Apostolik Salvifici Dolorismengungkapkan bahwa penderitaan itu pada dasarnya merupakan suatu yang khas, yang ada bersama dengan manusia. Dunia penderitaan ada dalam keadaan terbagi-bagi. Setiap individu melalui penderitaan pribadinya, tidak hanya membentuk suatu bagian kecil dari dunia tetapi sebagai suatu entitas yang terbatas. Penderitaan juga memiliki dimensi antar manusia dan dimensi sosialnya. Dunia penderitaan memiliki ”Solidaritas sendiri”. Dengan ini orang yang menderita menjadi serupa dengan sesamanya yang menderita, karena kesamaan situasi mereka, atau karena kebutuhan mereka untuk dipahami, dan dirawat. Hal ini mengandung suatu tantangan untuk persatuan dan solidaritas.[2]
Pencarian jawaban akan makna penderitaan Kristiani hanya akan ditemukan di dalam Salib Yesus Kristus. Dalam salib kurban Kristus mendapat makna yang penuh akan kasih Allah sebagai jawaban terhadap arti penderitaan. Penderitaan ini perlu diberikan tekanan pada fungsi pertobatan yaitu untuk membangun kembali kebaikan dalam subjek. Kebaikan itu menyangkut kebaikan dalam diri, hubungan dengan sesama dan hubungan Tuhan.[3]Jika kita ingin mendalami makna penderitaan Kristus masa Pra paskah ini merupakan kesempatan yang tepat. Sebagian besar bacaan liturgis mengarahkan kita para peristiwa salib, setiap hari jumad kita melasanakan ibadat jalan salib. Diharapkan agar semuanya itu mendekatkan kita pada makna penderitaan Kristus.
Dalam masa Prapaskah ini peristiwa salib nampak jelas dalam ibadat jalan salib. Peristiwa salib Kristus tersebut dalah kenangan akan Kristus sebagai kurban perjanjian baru. Kurban perjanjian baru Kristiani bertitik tolak dari kasih Bapa yang menyerahkan anak-Nya bagi keselamatan kita ( Rm 8:32). Tindakan Allah yang menyerahkan putra-Nya semata-mata karena Ia mengasihi kita. Ia mengutus anak-Nya buka untuk meguasai dan menghakimi kita melainkan untuk meyelamatkan kita (Yoh 3:16-17). Allah Bapa menawarkan Diri-Nya melalui anak-Nya agar kita memperoleh kesatuan dan kebersamaan dengan Dia. Dengan demikian jelaslah bahwa Allah sendirilah yang menjadi pokok kurban Kristiani. Sebagai kurban Kristus menyerahkan diri-Nya secara total.[4]
Kurban Kristus memilki makena sebagai kurban kekal. Oleh karena itu, kurban salib Kristus hanya dilakukan selkali untuk selama-lamanya(ephaks). Kurban tersebut juga berlaku selamanya sebagai satu-satunya kurban perjanjian baru. Kurban yang kini diadakan oleh Gereja dalam perayaan ekaristi tidak pernah merupakan kurban salib Kristus yang baru. Hanya Kristus yang menjadi kurban perjanjian baru dan hanya dalam dan melalui kurban salib Kristus itulah Gereja berpartisipasi dan mempersembahkan dirinya.[5]
Dalam kurban Kristus yang ditekankan bukanlah penderitaan-Nya yang membangkitkan rasa haru melainkan kesetiaan-Nya terhadap kebenaran dan cinta kasih-Nya yang merangkul segalanya. Wafat-Nya di salib menunjukan betapa dalam kurban Kristus. Gereja pun tidak pernah berhenti menghayati kematian-Nya di salib dan kebangkitan-Nya sebagai isi hidup Gereja sehari-hari. Penghayatan tersebut terlaksana dalam ekristi. Dalam ekaristi Gereja menemukan pancaran hidup dan kekudusan, lambing perdamaian dengan Allah, dan jaminan hidup kekal. Semua rahmat yang diperoleh melalui ekaristi tersebut di bagi-bagikan kepada semua orang.[6]
Kristus sebagai Sang Ekaristi
Ekaristi berakar pada perjamuan malam terakhir sebagai satu kesatuan dengan keseluruhan hidup Yesus dalam rangka menyelamatkan manusia. Ekaristi menjadi puncak penanda karya keselamatan dalam dan lewat Yesus Kristus.ekaristi menunjukan kontinuitas perjamuan malam terakhir. Kenangan akan ekaristi juga merupakan penetapan Kristus pada malam perjamuan terakhir, “Lakukanlah ini sebagai peringata akan aku”.kenangan itu adalah kenangan akan sabda dan tindakan Tuhan.[7]
Dengan menyebut Kristus sebagai sang ekaristi kita memahami Kristus dalam kerangka sejarah dan pemaknaan ekaristi. Ekaristi dapat kita memaknai sebagai eucharistia yang dalam bahasa Ibrani berakhah (berkat). Perayaan Ekaristi juga pernah disebut sebagai “Misa”. Kata ini dikaitkan dengan rumusan pada penutup perayaan ekaristi “Ite missa est” yang secara harafiah berarti pergilah kalian, perayaan sudah selesai. Ekaristi juga dikenal dalam sebutan “Pemecahan Roti”. Selain itu, dipakai juga istilah “Perjamuan Tuhan” Dominica Cena”. Kita juga dapat memaknai ekaristi sebagai sacrificium yang berarti kurban atau oblatio yang berarti persembahan.[8]
Mengikuti Ekaristi berarti mengambil bagian dalam salib Kristus. Kristus melalui salib mengorbankan diri-Nya demi keselamatan.Dengan menerima tubuh Kristus dalam ekaristi kita memperoleh keselamatan. Dalam ekaristi kita mengenangkan peristiwa wafat Kristus sebagai kurban yang menyelamatkan dan kebangkitan Tuhan. Keselamatan dalam kerangka ekaristi dicapai dengan melaksanakan kehendak Allah. Kurban Kristus merupakan kehendak Allah. Keselamatan adalah inisiatif Allah yang membuka kesediaan diri manusia untuk mempersembahkan diri kepada Allah dan sesama.
Kristus Rejeki Kehidupan dalam Sakramen Ekaristi
Rejeki kehudupan yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari adalam makanan. Dalam masyarakat kita makanan memiliki beberapa arti. Makanan selain bermakna jasmani juga berarti social dan rohani (religius). Makanan dipandang sebagai anugerah Tuhan. Sebagian besar upacara menempakan makan sebagai salah satu acara pokok. Dalam kebersamaan inilah makan mendapatkan arti sosialnya yang juga mengungkapakan nilai kesatuan antar sesama umat serta umat dengan Tuhannya. Mereka percaya bahwa manakan yang telah diberkati oleh Tuhan akan membawa berkat bagi umat manusia. Dengan ini makanan jasmani ini menjadi lambang santapan rohani, yaitu berkat Tuhan yang memberi kekuatan dan mempersatukan mereka.[9]
Ekaristi sebagai Sakramen Persaudaraan
Dalam ekaristi kita dipersatukan sebagai saudara karena iman akan Kristus yang wafat dan bangkit. Kristus yang menjadi kurban bagi kita semua. Yesus melakukan semuanya dengan menyerahkan diri-Nya kepada salib dan wafat. Pengurbanannya sangat menentukan keselamatan kita dan kebangkitan-Nya mempersatukan semua orang yang percaya kepada-Nya. Kristus rela menjadi makanan agar manusia dapat hidup. Makanan tersebut hadir dalam roti ekaristi yang menjadi wujud korban Kristus agar kita memperoleh hidup. Di dalam ekaristi persaudaraan sejati terwujud dan Yesus menjadi santapan rohani dalam rupa roti dan anggur. Gereja memalui ekaristi menjadi makanan untuk hidup manusia.[10]
Roti ekaristi menyatukan kita dengan Tuhan Yesus sendiri dan dengan umat beriman lain. Semua umat yang makan dari roti ekaristi yang sama dipersatukan dalam Tubuh Kristus yang satu yakni, Gereja. Berkat roti yang satu itu seluruh Gereja dipersatukan.Roti ekaristi membangun persaudaraan sejati di dalam Tuhan Yesus. Dengan demikian perayaan ekaristi menjadi perayaan cinta kasih atau perjamuan persaudaraan.
Legio Mariae: (antara) Sang Ekaristi dan Penderitaan Kristus
Maria dalam Hidup dan Karya Yesus
Kehadiran Maria dalam kaitan dengan Yesus sang ekaristi dan penderitaan-Nya tidak bisa dipisahkan dari suatu kontinuitas sejarah keselamatan Allah. Hal ini mau menunjukan bahwa Maria senantiasa hadir dalam hidup dan karya Yesus.
Rangkaian sejarah keselamatan ini tidak bisa mengabaikan Maria. Dari keseluruhan konteks Perjanjian Baru kehadiran Maria Nampak dalam suatu kerangka yakni, Maria dalam masa kanak-kanan Yesus, Maria dalam masa karya Yesus, Maria di akhir karya Yesus (di kaki salib), dan Maria dalam komunitas di Yerusalem. Skema besar ini dimaksudkan tidak dimaksudkan untuk mengabaikan kekhasan dari setiap teks baik Markus, Matius, Lukas, Kisah Para Rasul, Yohanes, dan Paulus.[11]
Yohanes 2:1-11 menceritakan bagaimana peranan Maria dalam perjamuan di Kana. Kisah ini diangkat tidak dengan maksud aksegetis. Oleh karena itu, aspek yang mau dilihat adalah hanyalah kehadiran Maria dan inisistif Maria. Kata-kata Maria yang menarik bagi saya adalah “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” (Yoh. 2:5)
Yohanes Paulus II memberikan suatu ajaran yang khas tentang hubungan antara Ekaristi dan Bunda Maria. Maria dijelaskan dapat membimbing kita ke dalam Sakramen Mahakudus ini justru Karena dia sendiri mempunyai hubungan yang mendalam dengan ekaristi ( EE 52). Maria disebut sebagai perempuan ekaristi dalam seluruh hidupnya. Maria bahkan sudah menjadi perempuan ekaristi sebelum ekaristi dalam perjamuan malam terakhir.[12]
Maria setia kepada putranya dan menemaninya hingga Yesus wafat di salib. Keikutsertaan Maria dalam dalam jalan salib putrannya nampak jelas ketika kita merenungkan perhentian keempat dalam ibadat jalan salib, “Yesus berjumpa dengan Ibu-Nya”. Selain itu kesetiaan Maria juga berlanjut dalam kisah Maria dan Yohanes kaki salib Kristus. Kisah lain yang juga menarik untuk direnungkan adalah kisah Maria memangku jenasah Yesus sebelum dimakamkan yang kita kenal “Mater Dolorosa”.
Sekilas tentang Legio Mariae
Legio Mariae merupakan suatu perkumpulan umat Katolik yang dengan restu Gereja dan bimbingan kuat Bunda Maria Tak Bernoda, Pengantar segala Rahmat telah menggabungkan diri dalam suatu laskar dalam peperangan abadi melawan dunia dan kekuatan jahatnya.[13] Pada tanggal 7 September 1921, Frank Duff mendirikan Legio Maria bersama sekelompok wanita Katolik dan P. Michael Toher, Uskup Dublin.[14] Tujuannya adalah ganda: pengembangan hidup rohani para anggotanya dan perluasan Kerajaan Kristus melalui Maria. Legio Mariae terlibat dalam kerasulan Gereja dalam semangat Maria, kerendahan hatinya, ketaatan yang sempurna, keindahan, doa yang terus-menerus, kemurniannya, dan kekudusannya yang dijiwai oleh kasih dan iman.[15]
Legioner memiliki kesatuan dengan ekaristi kudus. Ekaristi merupakan sumber rahmat. Rahmat yang kita mohonkan dalam doa mengalir dari pengorbanan Yesus Kritus di Kalvari. Oleh karena itu, misa kudus menjadi penolong bagi legioner yang menginginkan rahmat penebusan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Persatuan mereka dengan Maria juga ditandai dengan keikutsertaan mereka dalam ekaristi. Dalam misa kudus para legioner pun menempatkan sabda dan ekaristi sebagai dua bagian yang penting. Sabda dilihat sebagai pintu di mana Maria membuka jalan menuju tugas keibuan dengan mendengarkan sabda Allah dengan penuh iman.Ekaristi sebagai pusat dan sumber rahmat merupakan kunci dalam jadual legioner. Ekaristi menjadi harta kekayaan karena Yesus sendiri hadir di dalam sakramen ini.
Penutup
Saya mencoba membaca sebuah buku “ Spiritualitas Ekaristi dalam Dunia Sekuler” karangan Henry J.M. Nouwen. Di dalam saya menangkap beberapa hal yang menjadi pokok dalam ekaristi. Dengan sangat jelas tertulis pada covernya, “diambil, diberkati, dipecahkan, dibagikan”. Apa yang mau dikatakan dengan hal ini? Pertama,kita adalah pribadi yang dikasihi. Kasih Allah melatarbelakangi seluruh sejarah hidup kita terutama keselamatan kita. Kasih menjadi alasan bahwa kita menjadi pribadi yang diambil;(dipilih). Kedua, kita adalah pribadi yang diberkati. Berkat berarti kita diberikan hal yang baik. Kebaikan itu harus mendorong kita memberikan berkat pada orang lain. Ketiga, keterpecahan yang menandai kesediaan kita untuk memberikan diri untuk orang lain. Keempat, keseluruhan diri kita dengan segala yang kita terima harus mampu dibagi-bagikan. Hanya dengan dibagi-bagikan kita mengerti seutuhnya bahwa kita dipilih, diberkati, dan dipecah-pecahkan.[16]
Kita semua telah dipersatukan dalam ekaristi sebagai saudara. Kita menjadi manusia baru yang dilahirkan kembali dalam Kristus. Dalam Kristus teka-teki penderitaan dan kematian menjadi berarti. Misteri penebusan dunia secara sangat mengagumkan berakar di dalam penderitaan. penderitaan tersebut menjadi jelas dalam penebusan oleh Kristus. Oleh kurban salib Kristus kita semua menerima rahmat yang sama, yakni keselamatan.
Terkadang yang menjadi masalah bagi kita adalah kita merasa diri terlalu sibuk sehingga tidak sempat merasa diri kita dikasihi, dipilih, dan diberkati. Oleh karena itu, kita sulit untuk dipecahkan dan berbagi dengan sesama kita. Kebahagiaan menjadi penuh kalau kita memberikan diri kita bagi orang lain.Ekaristi memberikan kita kekuatan untuk berbuat lebih. Ini menuntut pemberian diri kita secara total bagi sesama kita. Ekaristi yang utuh merupakan suatu keseluruhan perayaan dari pembukaan sampai penutup. Di dalamnya kita masuk dalam persekutuan dengan keadaan kita yang berdosa, dibesihkan, diberkati, dan dipersatukan, dan diutus. Dengan demikian kita sungguh menjadi orang Katolik yang utuh. Kita sungguh menjadi pribadi dipersatukan dalam ekaristi dan siap diutus untuk berbagi.
Daftar Bacaan
Buku:
Budyapranata, Aloysius, 2012, Menghayati Misteri Kehadiran Tuhan Dalam Sakramen-Sakramen, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara
Cahyadi, T. 2012, Krispurwana, Toelogi Ekaristi, Jakarta: STF Driyarkara
Harun, Martin dan A.Pitoyo Adhi, 1988, Maria dalam Perjanjian Baru, Jakarta: Obor
Martasudjita, E. 2009, Ekaristi:Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius
Nouwen , Henri J. M. 2008, Diambil, Diberkati, Dipecah, Dibagikan: Spiritualitas Ekaristi dalam Dunia Sekuler (Life of The Beyond), Yogyakarta: Kanisius
Tim Senatus-Malang, 1999, Legio Mariae, Malang: Dioma
Dokumen Gereja:
Dokpen KWI, 1993, Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan)
Dokpen KWI, 1995, Redemptoris Hominis (Penebusan Umat Manusia)
[1] Dokpen KWI, Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan), 1993, hal. 11-13
[2] Ibid. hal. 18
[3] Ibid. hal. 24
[4] E. Martasudjita, Ekaristi:Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 2009 hal. 352-353
[5] Ibid. hal. 354
[6] Dokpen KWI, Redemptoris Hominis (Penebusan Umat Manusia), 1995, hal. 18
[7] Krispurwana Cahyadi, T. Toelogi Ekaristi, Jakarta: STF Driyarkara, 2012 hal.1-2
[8] Op. Cit hal. 28-32
[9] Aloysius Budyapranata, Menghayati Misteri Kehadiran Tuhan Dalam Sakramen-Sakramen, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2012, hal. 74-75
[10] Ibid. hal. 83-84
[11] Martin Harun dan A.Pitoyo Adhi, Maria dalam Perjanjian Baru, Jakarta: Obor, 1988
[12] Ibid.,E. Martasudjita, hal. 321
[13] Tim Senatus-Malang, Legio Mariae, Malang: Dioma, 1999, hal. 9
[14] Ibid. hal. 5
[15] Ibid. hal.13
[16] Henri J. M. Nouwen, Diambil, Diberkati, Dipecah, Dibagikan: Spiritualitas Ekaristi dalam Dunia Sekuler (Life of The Beyond),Yogyakarta: Kanisius, 2008
Comments