MARAPU

1.      Pengantar
Sumba merupakan salah satu bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada zaman dahulu orang Sumba sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang disebut Hamayang (ritual doa, sembahyang). Ritual-ritual tersebut ditujukan kepada roh-roh nenek moyang, karena orang Sumba percaya bahwa roh-roh nenek moyang tersebut adalah pemelihara orang-orang yang masih hidup di dunia. Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang bagi orang Sumba disebut Marapu. Oleh karena itu, seluruh bidang kehidupan orang Sumba dikaitkan dengan Marapu.[1]

Sumba yang sekarang ini terbagi-bagi dalam beberapa kabupaten seperti, Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Dalam makalah ini penulis mengemukakan tentang agama asli penduduk Sumba Timur dengan mengangkat salah satu daerah, yakni daerah Kodi.  



2.      Marapu sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Kodi
2.1.   Pengertian Marapu
Sumba terdiri atas berbagai macam suku dengan bahasa yang berbeda-beda. Kepercayaan asli orang Sumba disebut Marapu. Setiap suku mempunyai keprcayaan Marapu. Namun ada banyak kesamaan pengertian, penyembahan, dan ritus-ritusnya di anatara suku-suku tersebut. Di Sumba tidak ada kekuasaan yang sentral hanya ada raja-raja kecil (suku) yang berkuasa atas sukunya.[2]
            L. Onvlee menyebut Marapu sebagai “Yang Disembah dan Dihormati” karena Marapu berasal dari dua kata yaitu “Ma” berarti ‘Yang’ dan rapu artinya ‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’. Marapu adalah sembahan orang Sumba. Penyembahan itu ditujukan kepada roh, arwah orang mati, atau “Allah” (dewa Tertinggi). Segala sesuatu yang disembah disebut Marapu. A.A. Yewangoe mengartikan Marapu sebagai “Yang Tersembunyi” jika kata itu diambil dari kata “Ma” (yang) dan “rappu” (tersembunyi). Marapu juga berarti “Serupa Nenek Moyang” bila kata Merapu diambil dari rangkaian kata “Mera” (serupa) dan “appu” (neneki moyang).[3] Semua pengertian yang diambil ini berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat Sumba. Melalui sajian orang Sumba menggambarkan nenek moyang sebagai orang yang dekat dengan mereka, pelindung, penghubung, dan pendoa.
2.2.   Jenis dan Susunan Marapu
Dalam menghormati atau mendewakan Marapu ini anak cucu mewujudkan itu dalam berbagai bentuk, ada yang berupa patung, ada yang berupa perhiasan atau mamuli, ada yang berupa lamba (lambang bulan), dan (Tabilu) lambang matahari serta berbagai binatang baik di darat maupun di laut serta tumbuh-tumbuhan. Benda-benda itu disimpan di loteng paling atas dari rumah agar tidak mudah disentuh dan tempat itu biasanya dianggap suci atau keramat. Benda-benda itu disebut Tanggu Marapu atau bagian dari leluhur atau pusaka dan di dalam benda-benda itu bersemayam roh para leluhur. Benda-benda tersebut menjadi perantara antara manusia dengan Tuhannya.[4]
Orang Sumba mengenal Marapu dengan berbagai tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi adalah Marapu Matoyo atau Marapu Bokol. Marapu ini menjadi alamat dari setiap permohonan. Dia yang memutuskan apakah permohonan itu dikabulkan atau ditolak. Ada yang menyebutkan bahwa Marapu ini beristirahat setelah penciptaan dan menyerahkan penyelenggaraan alam semesta kepada bawahannya. Namun Ia tidak tidur. Ia tetap memperhatikan manusia yang memohon kepadanya. Ia disebut sebagai Di’bokol matana, mbelek rokatiluna (Ia yang bermata besar dan bertelinga lebar), untuk mengungkapkan bahwa Marapu senantiasa memperhatikan dan mendengar keluhan manusia.[5]
Nama Marapu Tertinggi sering kali tidak boleh disebutkan begitu saja namanya karena Marapu itu adalah Ndappa teki tamo, ndappa numa ngara (tak boleh disebutkan namanya, tak boleh digosipkan namanya). Ia diyakini sebagaii Pencipta alam semesta Bappa amawolo, Inna amarawi. Karena tempatnya yang jauh, yakni di langit ke tujuh, maka manusia tidak serta-merta dapat berkontak langsung dengan Dia. Demikianpun Dia juga membutuhkan perantara untuk dapat kontak dengan manusia. Namun orang Sumba percaya bahwa Marapu Tertinggi itu baik hati dan suka mengampuni orang yang mau bertobat. Saat kematian tiba Dia akan menerima manusia.
Marapu lain yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam susunan upacara Marapu adalah Marapu Mori Canna. Ia adalah Marapu yang menjaga dusun (atau kampong) dan juga menjaga kebun. Ia disebut Mori Canna karena Dia dianggap sebagi Mori (tuan, pemilik) dari Canna (tanah) yang sedang didiami. Dalam upacara yang berhubungan dengan dusun atau kampong, Marapu ini harus diberikan sesajian berupa makanan. Sedangkan untuk Marapu Mori Canna yang ada di kebun, Marapu diberikan persembahan dalam bentuk hasil panenan. Hasil penenan itu digantungka pada tiang persemahan yang terdapat di mesbah.[6]   
Marapu yang cukup dikenal dan diberi perhatian adalah Marapu To’ Mate (arwah orang-orang yang meninggal). Orang Sumba percaya bahwa arwah orang yang meninggal akan menjadi roh yang memberikan berkat bagi keturunannya atau kepada sanak saudaranya. Dalam tradisi Sumba, seseorang sebelum meninggal biasanya akan meninggalkan amanah untuk anak-anaknya atau sanak saudaranya berupa berkat. Mereka percaya baghwa orang mati tetap hidup hanya berpinda tempat saja. dari alamnya orang yang telah mati itu akan memperhatikan dan melindungi keluarga yang masih hidup ( Enge totoko randanggumi, mono kopor gallunggumi). Mereka menjadi penjaga karena mereka telah masuk ke dalam kumpulan Marapu, yakni persekutuan hidup dengan semua orang yang telah meninggal.[7]
Orang Sumba juga percaya terhadap Marapu dalam bentuk roh-roh. Roh-roh ini akan mendampingi manusia sesuai dengan permintaan manusia atau sesuai dengan wangsit yang diterima oleh orang tertentu. Marapu dalam bentuk roh-roh ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatitif. Yang positif akan menghadirkan berkat bagi manusia berupa hasil panen yang melimpah, kekayaan, kekebalan, dan masih banyak lagi. Roh-roh yang bersifat negatif akan hadir dalam bentuk suanggi (toyo hamarango), yakni menyihir orang lain agar sakit atau mati. Ada pula dalam bentuk roh penipu, roh perayu (yang merayu wanita), dan lain-lain. Orang-orang yang hebat dalam hal tertentu diyakini pasti mempunyai Marapu (na keteng marapu).[8]
2.3.   Peringkat Roh dalam Marapu
Dewa tertinggi dipandang berkelamin ganda. Dewa tersebut disapa sebagai ibu dan bapak, dan keduanya bersama-sama menganugerahi berkah kesuburan dan kesejahteraan yang merupakan tanggung jawabnya. Sang pencipta dikenal sebagai Dia yang menenun dan membentuk kami (Amawolo Amarawi). Hal ini dikaitkan dengan kegiatan wanita­­ dalam memintal benang dan menyiapkan celupan serta kediatan laki-laki dalam melebur logam. Orang Sumba percaya bahwa sosok ibu dan bapak merupakan pemimpin kerajaan langit yang letaknya tujuh atau delapan tingkat di atas bumi. Akan tetapi dalam upacara tradisional sosok ibu dan bapak jarang dimintai pertolongan. [9]
Dalam kepercayaan orang Sumba benda yang “dimanusiakan“ dipakai untuk berhubungan dengan roh dan leluhur khususnya yang berada di tingkat yang lebih rendah, terdiri atas roh yang disapa berpasangan laki-laki dan Perempuan. Leluhur yang menguasai kilat, misalnya, dipanggil bersama saudara perempuannya, Tila, yang memegang jaring gaib untuk menjerat manusia dan hewan. Sosok lelaki yang mengendalikan kekuatan langit, petir, halilintar, dan hujan deras. Sosok Perempuan dikaitkan dengan bumi dan asal-usul padi, cacing laut, dan hasil kebun.


KOSMOLOGI ORANG KODI: KELAMIN DALAM DUNIA ROH
   
Dewa Berkelamin Ganda

Pencipta: Ibu Peminta Gombak dan Ayah Pelebur Emas
( Inya walo hungga, Bapa rawi lindu)

Daya Pelindung 
Altar marga     : Ibu Lebih Tua, Ayah Purba ( Inya matuyo, Bapa Ataheha)
Tiang rumah    : Ibu Agung, Ayah Agung ( Inya Bakolo, Bapa Bakolo)
Desa kecil        : Ibu Bumi, Ayah Sungai (Inya mangu tana, Bapa manga l

Perantara Roh Perempuan dan Laki-Laki
Perempuan:
Gendang tegak Perempuan (bendu)
Perempuan pada pinggir atap (kahi rou kawendo)
Perempuan tua pada gerbang utama (njoki watu kareka)
Penggali kubur Perempuan (lyale rate palolo)

Laki-laki:
Tombak kedewaan laki-laki (nambu)
Laki-laki di atap rumah  (ndelo took uma)
Laki-laki pemimpin lahan yang ditanami (Ringgi mori cana)
Laki-laki pembuat batu nisan (Congha hondi wu panduku)

Sosok Leluhur Perempuan dan Laki-laki 


Perempuan                 
Mbiri Kyoni : Dewi padi
Inya : Pencipta cacing laut
Warico lolo Kapadu :  Perempuan tua dukun
Mbila Tamaro           : Pengantin perempuan buaya

Laki-laki
Ra Hupur : Penguasa kilat
Lete Watu : Penipu yang menukar api dengan hujan
Pala Kawata    : Ular Sanca dari lading subur
Partu Bakokoro: Penjaga pintu air di surga

Tabel Dewa Berkelamin Genda dalam Kepercayaan Marapu di Sumba.[10]

2.4.   Ritus Penyembahan dan Kurban dalam Marapu

                        Marapu disembah dalam upacara-upacara yang resmi maupun tidak resmi. Suatu upacara resmi dilaksanakan dengan mengundang Rato Marapu (Imam atau Pendeta Marapu) dan mendoakan intensi dari keluarga yang memohonkannya.  Sedangkan upacara yang tidak resmi adalah upacara yang dilakukan oleh keluarga tanpa memanggil Rato Marapu. Kepala keuarga atau yang dituakan dalam keluarga dapat upacara yang sederhana. Kedua upacara tersebut dianggap sebagai upacara liturgis dalam agama Marapu di Sumba. [11]
            Dalam ritus liturgis Marapu yang menjadi hal pokok adalah ta’ liyo (doa yang dikemas dalam bentuk pantun-pantun) dan kurban hewan. Isi doa yang disampaikan kepada Marapu dalam bentuk pantun tersebut dapat berisikan pujian, syukur, dan permohonan. Dalam ta’ liyo doa-doa itu berupa yaigho (atau zaizo), doa-doa untuk mencari sebab-akibat dari penderitaan atau kematian. Dalam ta’ liyo doa dan pantun tersebut dapat bersifat monolog (doa dari sang Ratu Marapu saja) dan juga dialog antara seorang atau semua peserta dengan Ratu Marapu. Dalam Marapu doa sangat penting dinyanyikan diiringi gendang yang ditabuhkan dalam keadaan berdiri. Kulit gendang diduga terbuat dari kulit manusia. Hal ini dimaksudkan untuk mengiringi roh yang sedang berkelana bersama doa yang dipanjatkan pendeta menuju ke dunia atas. Dalam upacara besar digunakan juga seperangkat gong dan tanbur yang dipegang, bunyinya sebagai tanda utusan roh. Adat Sumba sangat menekankan iringan kata-kata dalam doa dan musik dalam upacara.[12]
            Kurban berupa hewan menjadi unsur yang penting juga dalam ritus terhadap Marapu. Pada saat doa disembeli beberapa ekor ayam (manu) sebagai bentuk pengesahan terhadap doa. Darah ayam yang mengucur dan membasahi katonga (bale-bale dari bambu yang menjadi lantai rumah) adalah simbol penyerahan hidup manusia karena darah adalah simbol hidup. Marapu, setelah mencium bau darah tersebut, akan menerima penyerahan itu dan merestui permintaan manusia. Selain ayam, ada juga hewan lain yang biasa disembeli dalam upacara Maprapu yakni, anjing (ahu), babi (wei) , kuda (njara), dan dalam upacara yang besar sebaiknya menyembeli kerbau (karambua). Hal ini maksudkan agar  setiap orang yang menghadiri upacara mendapat makan dan jatah dagingnya yang dapat dibawa pulang.[13]
            Dalam upacara Marapu diperdengarkan bunyi gong dan tambur. Bunyi-bunyi yang dihasilkan dengan nada-nada yang berbeda sesuai dengan maksud tertentu. Pada malam sebelum diadakan upacara biasanya ditabuhkan dengan ritme yang sendu. Sedangkan pada saat pesta biasanya dibunyikan dengan nada gembira.
3.      Upacara Penting dalam Marapu
Peristiwa yang sangat besar dan dikenal dalam tradisi Marapu yang hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Sumba adalah penguburan. Jarak antara seseorang dan proses penguburannya membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya biaya yang dibutuhkan dalam proses tersebut seprti persiapan binatang kurban. Bagi pemeluk kepercayaan Marapu, esensi dalam hal penguburan adalah sebagai pengantar perjalanan seseorang menuju kebahagiaan setelah mati, sehingga diperlukan langkah meluaskan arwah ke Parai Marapu. Parai Marapu menjadi tujuan bantuan roh leluhur.[14]
Selain itu ada upacara yang penting adalah Nale dan Pasola. Inya Nale sebagai dewi dari segala cacing di laut. Ini merupakan suatu upacara tahunan yang bersamaan dengan musim cacing dengan aneka warna (Leodiec Viridis) di sepanjang pantai barat dan pantai selatan Sumba. Pendeta tertinggi dalam upacara itu disebut “Pemimpin Tahun” (mori ndoyo) atau “Tuan bulan” (rato wulla) yang meramalkan musim ini berdasarkan peredaran bulan dan astrologi. Pada hari yang ia pilih, ribuan orang Sumba akan mengumpulkan cacing dari pantai pad pagi hari. Kelimpahan cacing memberikan harapan bagi panen padi yang akan datang karena jiwa dewi padi telah menjelma dalam panen baru.

Pasola merupakan tarian perang dengan ratusan penunggang kuda yang menyebrangi padang sambil menjatuhkan lawan dari daerah lain dengan cara melempari tombak. Tarian ini mengiringi pencarian cacing. Darah manusia yang tercurah di medan Pasola menjadi persembahan kepada cacing dan tanaman padi. Korban hanya akan ada jika terjadi palanggaran atau tabu. Pelanggaran larangan keheningan upacara dan  mengambil makanan dari laut pada masa itu akan menyebabkan hilangnya perlindungan leluhur dalam Pasola..[15]  
4.      Penutup

Orang Sumba mengenal banyak sekali Marapu. Berdasarkan bentuk dan ragam Marapu dapat disimpulkan sebagai kekuatan supranatural yang menakutkan tetapi sangat dekat dengan manusia. Marapu dapar hadir dalam berbagai wujud misalnya, Dewa Tertinggi, arwah nenek moyang, roh-roh, makhluk halus, atau pun kekuatan-kekuatan-kekuatan sakti lainnya. Jika disembah dengan baik akan mendatangkan berkat, pertolongan, perlindungan, dan sebaliknya kalau tidak disembah dengan baik akan mendatangkan bencana atau malapetaka.[16]

Marapu yang sembah oleh orang Sumba biasanya disimbolkan dengan batu yang disusun seperti mesbah untuk diberikan sesaji. Mesbah tersebut dalam bahasa adatnya disebut watu janna ndikki, tana janna ngera. Sebutan ini berarti batu yang tak terpindahkan dan tang yang tak pernah berubah. Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Marapu menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba. Marapu berperan sebagai pedoman hidup dan tingkah laku masyarakat Sumba. Marapu juga berperan sebagai ‘penolong’. Dengan demikian, Marapu menjadi suatu yang dapat mendekatkan manusia dengan sesamanya  di dunia ini melalui upacara bersama sekaligus mendekatkan diri dengan para leluhur dan “Wujud Tertinggi” atau Dewa Tertinggi  dalam Marapu.






[1] Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976, hlm.35 
[2] Mateus Mali,, “ Sumba: Tanah Marapu” dalam Eddy Kristianto,(ed.), Spiritualitas Dialog:Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, Yogyakarta: Kanisisus. 2010, hlm. 73
[3] Ibid. hlm. 74
[4] NN, Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur: Yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, Jakarta. 1985, hlm. 25
[5] Op. cit. Spiritualitas Dialog  Narasi Teologis tentang Kearifan Religius,: hlm. 76
[6] Ibid. hlm. 77
[7] Ibid.78
[8] F.D. Wellem, Injil dan Marapu. Suatu Dtudi Historis-Teollogis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Jakarta: Gunung Mulia, 2004, hal. 46
[9] James. J. Fox. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, Grolier International. Inc.Jakarta: Jayakarta Offset. 2002,  hal. 90
[10] Tabel ini diambil dari artikel “ Sumba: Kedatangan Marapu” yang termuat dalam. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara karya James. J. Fox.
[11] Ibid. 80
[12] Op. Cit.  Indonesian Heritage: Agama dan Upacara hlm. 90
[13] Op. cit. Spiritualitas Dialog  Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86
[14] I Made Supartha, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan Falsafah, ed.Agus Aris Munandar. Jakarta: Rajawali Press. 2009, hlm. 23
[15] Loc. cit.  Indonesian Heritage: Agama dan Upacara hlm. 91
[16] Op. cit. Spiritualitas Dialog  Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK