MARAPU
1. Pengantar
Sosok Leluhur Perempuan dan Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Ra Hupur : Penguasa kilat
Lete Watu : Penipu yang menukar api dengan hujan
Pala Kawata : Ular Sanca dari lading subur
Partu Bakokoro: Penjaga pintu air di surga
Tabel Dewa Berkelamin Genda dalam Kepercayaan Marapu di Sumba.[10]
Sumba merupakan
salah satu bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada zaman dahulu orang
Sumba sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang disebut Hamayang (ritual doa, sembahyang).
Ritual-ritual tersebut ditujukan kepada roh-roh nenek moyang, karena orang
Sumba percaya bahwa roh-roh nenek moyang tersebut adalah pemelihara orang-orang
yang masih hidup di dunia. Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang bagi orang
Sumba disebut Marapu. Oleh karena itu, seluruh bidang kehidupan orang Sumba
dikaitkan dengan Marapu.[1]
Sumba yang sekarang ini terbagi-bagi dalam
beberapa kabupaten seperti, Kabupaten Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba
Tengah, dan Sumba Timur. Dalam makalah ini penulis mengemukakan tentang agama
asli penduduk Sumba Timur dengan mengangkat salah satu daerah, yakni daerah
Kodi.
2.
Marapu sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Kodi
2.1. Pengertian Marapu
Sumba terdiri atas berbagai macam suku
dengan bahasa yang berbeda-beda. Kepercayaan asli orang Sumba disebut Marapu.
Setiap suku mempunyai keprcayaan Marapu. Namun ada banyak kesamaan pengertian,
penyembahan, dan ritus-ritusnya di anatara suku-suku tersebut. Di Sumba tidak
ada kekuasaan yang sentral hanya ada raja-raja kecil (suku) yang berkuasa atas
sukunya.[2]
L. Onvlee menyebut Marapu sebagai “Yang Disembah dan
Dihormati” karena Marapu berasal dari dua kata yaitu “Ma” berarti ‘Yang’ dan
rapu artinya ‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’. Marapu adalah sembahan
orang Sumba. Penyembahan itu ditujukan kepada roh, arwah orang mati, atau
“Allah” (dewa Tertinggi). Segala sesuatu yang disembah disebut Marapu. A.A.
Yewangoe mengartikan Marapu sebagai “Yang Tersembunyi” jika kata itu diambil
dari kata “Ma” (yang) dan “rappu” (tersembunyi). Marapu juga berarti “Serupa
Nenek Moyang” bila kata Merapu diambil dari rangkaian kata “Mera” (serupa) dan
“appu” (neneki moyang).[3]
Semua pengertian yang diambil ini berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat
Sumba. Melalui sajian orang Sumba menggambarkan nenek moyang sebagai orang yang
dekat dengan mereka, pelindung, penghubung, dan pendoa.
2.2. Jenis dan Susunan Marapu
Dalam menghormati atau mendewakan Marapu ini
anak cucu mewujudkan itu dalam berbagai bentuk, ada yang berupa patung, ada
yang berupa perhiasan atau mamuli,
ada yang berupa lamba (lambang
bulan), dan (Tabilu) lambang matahari
serta berbagai binatang baik di darat maupun di laut serta tumbuh-tumbuhan.
Benda-benda itu disimpan di loteng paling atas dari rumah agar tidak mudah
disentuh dan tempat itu biasanya dianggap suci atau keramat. Benda-benda itu
disebut Tanggu Marapu atau bagian
dari leluhur atau pusaka dan di dalam benda-benda itu bersemayam roh para
leluhur. Benda-benda tersebut menjadi perantara antara manusia dengan Tuhannya.[4]
Orang Sumba mengenal Marapu dengan berbagai
tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi adalah Marapu Matoyo atau Marapu
Bokol. Marapu ini menjadi alamat dari setiap permohonan. Dia yang
memutuskan apakah permohonan itu dikabulkan atau ditolak. Ada yang menyebutkan
bahwa Marapu ini beristirahat setelah penciptaan dan menyerahkan penyelenggaraan
alam semesta kepada bawahannya. Namun Ia tidak tidur. Ia tetap memperhatikan
manusia yang memohon kepadanya. Ia disebut sebagai Di’bokol matana, mbelek rokatiluna (Ia yang bermata besar dan
bertelinga lebar), untuk mengungkapkan bahwa Marapu senantiasa memperhatikan
dan mendengar keluhan manusia.[5]
Nama Marapu Tertinggi sering
kali tidak boleh disebutkan begitu saja namanya karena Marapu itu adalah Ndappa teki tamo, ndappa numa ngara (tak
boleh disebutkan namanya, tak boleh digosipkan namanya). Ia diyakini sebagaii
Pencipta alam semesta Bappa amawolo, Inna
amarawi. Karena tempatnya yang jauh, yakni di langit ke tujuh, maka manusia
tidak serta-merta dapat berkontak langsung dengan Dia. Demikianpun Dia juga
membutuhkan perantara untuk dapat kontak dengan manusia. Namun orang Sumba
percaya bahwa Marapu Tertinggi itu baik hati dan suka mengampuni orang yang mau
bertobat. Saat kematian tiba Dia akan menerima manusia.
Marapu lain yang memiliki
kedudukan yang tinggi dalam susunan upacara Marapu adalah Marapu Mori Canna. Ia adalah Marapu yang menjaga dusun (atau
kampong) dan juga menjaga kebun. Ia disebut Mori
Canna karena Dia dianggap sebagi Mori
(tuan, pemilik) dari Canna
(tanah) yang sedang didiami. Dalam upacara yang berhubungan dengan dusun atau
kampong, Marapu ini harus diberikan sesajian berupa makanan. Sedangkan untuk Marapu Mori Canna yang ada di kebun,
Marapu diberikan persembahan dalam bentuk hasil panenan. Hasil penenan itu
digantungka pada tiang persemahan yang terdapat di mesbah.[6]
Marapu yang cukup dikenal
dan diberi perhatian adalah Marapu To’
Mate (arwah orang-orang yang meninggal). Orang Sumba percaya bahwa arwah
orang yang meninggal akan menjadi roh yang memberikan berkat bagi keturunannya
atau kepada sanak saudaranya. Dalam tradisi Sumba, seseorang sebelum meninggal
biasanya akan meninggalkan amanah untuk anak-anaknya atau sanak saudaranya
berupa berkat. Mereka percaya baghwa orang mati tetap hidup hanya berpinda
tempat saja. dari alamnya orang yang telah mati itu akan memperhatikan dan
melindungi keluarga yang masih hidup (
Enge totoko randanggumi, mono kopor gallunggumi). Mereka menjadi penjaga
karena mereka telah masuk ke dalam kumpulan Marapu, yakni persekutuan hidup
dengan semua orang yang telah meninggal.[7]
Orang Sumba juga
percaya terhadap Marapu dalam bentuk roh-roh. Roh-roh ini akan mendampingi
manusia sesuai dengan permintaan manusia atau sesuai dengan wangsit yang
diterima oleh orang tertentu. Marapu dalam bentuk roh-roh ada yang bersifat
positif dan ada pula yang bersifat negatitif. Yang positif akan menghadirkan
berkat bagi manusia berupa hasil panen yang melimpah, kekayaan, kekebalan, dan
masih banyak lagi. Roh-roh yang bersifat negatif akan hadir dalam bentuk
suanggi (toyo hamarango), yakni
menyihir orang lain agar sakit atau mati. Ada pula dalam bentuk roh penipu, roh
perayu (yang merayu wanita), dan lain-lain. Orang-orang yang hebat dalam hal tertentu diyakini
pasti mempunyai Marapu (na keteng
marapu).[8]
2.3. Peringkat Roh dalam Marapu
Dewa tertinggi
dipandang berkelamin ganda. Dewa tersebut disapa sebagai ibu dan bapak, dan
keduanya bersama-sama menganugerahi berkah kesuburan dan kesejahteraan yang
merupakan tanggung jawabnya. Sang pencipta dikenal sebagai Dia yang menenun dan
membentuk kami (Amawolo Amarawi). Hal
ini dikaitkan dengan kegiatan wanita dalam memintal benang dan menyiapkan
celupan serta kediatan laki-laki dalam melebur logam. Orang Sumba percaya bahwa
sosok ibu dan bapak merupakan pemimpin kerajaan langit yang letaknya tujuh atau
delapan tingkat di atas bumi. Akan
tetapi dalam upacara tradisional sosok ibu dan bapak jarang dimintai
pertolongan. [9]
Dalam kepercayaan orang Sumba benda yang “dimanusiakan“ dipakai untuk
berhubungan dengan roh dan leluhur khususnya yang berada di tingkat yang lebih
rendah, terdiri atas roh yang disapa berpasangan laki-laki dan Perempuan. Leluhur
yang menguasai kilat, misalnya, dipanggil bersama saudara perempuannya, Tila, yang memegang jaring gaib untuk
menjerat manusia dan hewan. Sosok lelaki yang mengendalikan kekuatan langit,
petir, halilintar, dan hujan deras. Sosok Perempuan dikaitkan dengan bumi dan
asal-usul padi, cacing laut, dan hasil kebun.
KOSMOLOGI ORANG KODI: KELAMIN DALAM DUNIA ROH
Dewa Berkelamin Ganda
Dewa Berkelamin Ganda
Pencipta: Ibu Peminta Gombak dan Ayah Pelebur Emas
( Inya walo hungga, Bapa rawi lindu)
( Inya walo hungga, Bapa rawi lindu)
Daya Pelindung
Altar
marga : Ibu Lebih Tua, Ayah Purba ( Inya matuyo, Bapa Ataheha)
Tiang rumah : Ibu Agung, Ayah Agung (
Inya Bakolo, Bapa Bakolo)
Desa kecil : Ibu Bumi, Ayah
Sungai (Inya mangu tana, Bapa manga l
Perantara Roh Perempuan dan
Laki-Laki
Perempuan:
Gendang tegak Perempuan (bendu)
Perempuan pada pinggir atap (kahi rou kawendo)
Perempuan tua pada gerbang utama (njoki watu kareka)
Penggali kubur Perempuan (lyale rate palolo)
Laki-laki:
Tombak kedewaan laki-laki (nambu)
Laki-laki di atap rumah (ndelo took uma)
Laki-laki pemimpin lahan yang ditanami (Ringgi mori cana)
Laki-laki pembuat batu nisan (Congha hondi wu panduku)
Perempuan pada pinggir atap (kahi rou kawendo)
Perempuan tua pada gerbang utama (njoki watu kareka)
Penggali kubur Perempuan (lyale rate palolo)
Laki-laki:
Tombak kedewaan laki-laki (nambu)
Laki-laki di atap rumah (ndelo took uma)
Laki-laki pemimpin lahan yang ditanami (Ringgi mori cana)
Laki-laki pembuat batu nisan (Congha hondi wu panduku)
Sosok Leluhur Perempuan dan Laki-laki
Perempuan
Mbiri Kyoni :
Dewi padi
Inya : Pencipta
cacing laut
Warico lolo Kapadu : Perempuan tua dukun
Mbila
Tamaro : Pengantin
perempuan buaya
Laki-laki
Ra Hupur : Penguasa kilat
Lete Watu : Penipu yang menukar api dengan hujan
Pala Kawata : Ular Sanca dari lading subur
Partu Bakokoro: Penjaga pintu air di surga
Tabel Dewa Berkelamin Genda dalam Kepercayaan Marapu di Sumba.[10]
2.4. Ritus Penyembahan dan
Kurban dalam Marapu
Marapu disembah dalam
upacara-upacara yang resmi maupun tidak resmi. Suatu upacara resmi dilaksanakan
dengan mengundang Rato Marapu (Imam
atau Pendeta Marapu) dan mendoakan intensi dari keluarga yang
memohonkannya. Sedangkan upacara yang
tidak resmi adalah upacara yang dilakukan oleh keluarga tanpa memanggil Rato Marapu. Kepala keuarga atau yang
dituakan dalam keluarga dapat upacara yang sederhana. Kedua upacara tersebut
dianggap sebagai upacara liturgis dalam agama Marapu di Sumba. [11]
Dalam ritus liturgis
Marapu yang menjadi hal pokok adalah ta’
liyo (doa yang dikemas dalam bentuk pantun-pantun) dan kurban hewan. Isi
doa yang disampaikan kepada Marapu dalam bentuk pantun tersebut dapat berisikan
pujian, syukur, dan permohonan. Dalam ta’
liyo doa-doa itu berupa yaigho (atau
zaizo), doa-doa untuk mencari
sebab-akibat dari penderitaan atau kematian. Dalam ta’ liyo doa dan pantun tersebut dapat bersifat monolog (doa dari
sang Ratu Marapu saja) dan juga
dialog antara seorang atau semua peserta dengan Ratu Marapu. Dalam Marapu doa sangat penting dinyanyikan diiringi
gendang yang ditabuhkan dalam keadaan berdiri. Kulit gendang diduga terbuat
dari kulit manusia. Hal ini dimaksudkan untuk mengiringi roh yang sedang
berkelana bersama doa yang dipanjatkan pendeta menuju ke dunia atas. Dalam
upacara besar digunakan juga seperangkat gong dan tanbur yang dipegang,
bunyinya sebagai tanda utusan roh. Adat Sumba
sangat menekankan iringan kata-kata dalam doa dan musik dalam upacara.[12]
Kurban berupa hewan menjadi unsur
yang penting juga dalam ritus terhadap Marapu. Pada saat doa disembeli beberapa
ekor ayam (manu) sebagai bentuk
pengesahan terhadap doa. Darah ayam yang mengucur dan membasahi katonga
(bale-bale dari bambu yang menjadi lantai rumah) adalah simbol penyerahan hidup
manusia karena darah adalah simbol hidup. Marapu, setelah mencium bau darah
tersebut, akan menerima penyerahan itu dan merestui permintaan manusia. Selain
ayam, ada juga hewan lain yang biasa disembeli dalam upacara Maprapu yakni,
anjing (ahu), babi (wei) , kuda (njara), dan dalam upacara yang besar sebaiknya
menyembeli kerbau (karambua). Hal ini maksudkan agar setiap orang yang menghadiri upacara mendapat
makan dan jatah dagingnya yang dapat dibawa pulang.[13]
Dalam upacara Marapu diperdengarkan
bunyi gong dan tambur. Bunyi-bunyi yang dihasilkan dengan nada-nada yang
berbeda sesuai dengan maksud tertentu. Pada malam sebelum diadakan upacara
biasanya ditabuhkan dengan ritme yang sendu. Sedangkan pada saat pesta biasanya
dibunyikan dengan nada gembira.
3.
Upacara
Penting dalam Marapu
Peristiwa yang
sangat besar dan dikenal dalam tradisi Marapu
yang hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Sumba adalah penguburan.
Jarak antara seseorang dan proses penguburannya membutuhkan waktu yang sangat
lama, bahkan bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh banyaknya biaya yang
dibutuhkan dalam proses tersebut seprti persiapan binatang kurban. Bagi pemeluk
kepercayaan Marapu, esensi dalam hal
penguburan adalah sebagai pengantar perjalanan seseorang menuju kebahagiaan
setelah mati, sehingga diperlukan langkah meluaskan arwah ke Parai
Marapu. Parai Marapu menjadi tujuan bantuan roh leluhur.[14]
Selain itu ada upacara yang penting adalah Nale dan Pasola. Inya
Nale sebagai dewi dari segala cacing di laut. Ini merupakan suatu upacara
tahunan yang bersamaan dengan musim cacing dengan aneka warna (Leodiec Viridis) di sepanjang pantai barat
dan pantai selatan Sumba. Pendeta tertinggi dalam upacara itu disebut “Pemimpin
Tahun” (mori ndoyo) atau “Tuan bulan”
(rato wulla) yang meramalkan musim
ini berdasarkan peredaran bulan dan astrologi. Pada hari yang ia pilih, ribuan
orang Sumba akan mengumpulkan cacing dari pantai pad pagi hari. Kelimpahan
cacing memberikan harapan bagi panen padi yang akan datang karena jiwa dewi
padi telah menjelma dalam panen baru.
Pasola merupakan tarian perang dengan ratusan penunggang
kuda yang menyebrangi padang sambil menjatuhkan lawan dari daerah lain dengan
cara melempari tombak. Tarian ini mengiringi pencarian cacing. Darah manusia
yang tercurah di medan Pasola menjadi
persembahan kepada cacing dan tanaman padi. Korban hanya akan ada jika terjadi
palanggaran atau tabu. Pelanggaran larangan keheningan upacara dan mengambil makanan dari laut pada masa itu akan
menyebabkan hilangnya perlindungan leluhur dalam Pasola..[15]
4.
Penutup
Orang
Sumba mengenal banyak sekali Marapu. Berdasarkan bentuk dan ragam Marapu dapat
disimpulkan sebagai kekuatan supranatural yang menakutkan tetapi sangat dekat
dengan manusia. Marapu dapar hadir dalam berbagai wujud misalnya, Dewa
Tertinggi, arwah nenek moyang, roh-roh, makhluk halus, atau pun
kekuatan-kekuatan-kekuatan sakti lainnya. Jika disembah dengan baik akan
mendatangkan berkat, pertolongan, perlindungan, dan sebaliknya kalau tidak
disembah dengan baik akan mendatangkan bencana atau malapetaka.[16]
Marapu
yang sembah oleh orang Sumba biasanya disimbolkan dengan batu yang disusun
seperti mesbah untuk diberikan sesaji. Mesbah tersebut dalam bahasa adatnya
disebut watu janna ndikki, tana janna
ngera. Sebutan ini berarti batu yang tak terpindahkan dan tang yang tak
pernah berubah. Marapu dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan
manusia. Marapu menjadi falsafah hidup bagi berbagai ungkapan budaya Sumba.
Marapu berperan sebagai pedoman hidup dan tingkah laku masyarakat Sumba. Marapu
juga berperan sebagai ‘penolong’. Dengan demikian, Marapu menjadi suatu yang
dapat mendekatkan manusia dengan sesamanya di dunia ini melalui upacara bersama sekaligus
mendekatkan diri dengan para leluhur dan “Wujud Tertinggi” atau Dewa Tertinggi dalam Marapu.
[1] Umbu
Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1976, hlm.35
[2] Mateus Mali,, “
Sumba: Tanah Marapu” dalam Eddy Kristianto,(ed.), Spiritualitas Dialog:Narasi Teologis tentang Kearifan
Religius, Yogyakarta: Kanisisus. 2010, hlm. 73
[3] Ibid. hlm. 74
[4] NN, Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara
Timur: Yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
daerah, Jakarta. 1985, hlm. 25
[5] Op. cit. Spiritualitas
Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan
Religius,: hlm. 76
[6] Ibid.
hlm. 77
[7] Ibid.78
[8] F.D. Wellem, Injil dan
Marapu. Suatu Dtudi Historis-Teollogis tentang
Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1990. Jakarta:
Gunung Mulia, 2004, hal. 46
[9] James. J. Fox. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara,
Grolier International. Inc.Jakarta: Jayakarta Offset. 2002, hal. 90
[10] Tabel ini diambil
dari artikel “ Sumba: Kedatangan Marapu” yang termuat dalam. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara karya James. J. Fox.
[11] Ibid. 80
[12] Op. Cit. Indonesian
Heritage: Agama dan Upacara
hlm. 90
[13] Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86
[14] I Made Supartha, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Religi dan
Falsafah, ed.Agus Aris Munandar.
Jakarta: Rajawali Press. 2009, hlm. 23
[15] Loc. cit. Indonesian
Heritage: Agama dan Upacara
hlm. 91
[16] Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86