LUDWIG FEUERBACH

                                             Agama sebagai Proyeksi Diri Manusia

            Riwayat Hidup dan Karya
            Ludwig Andreas Feuerbach dilahirkan di Landshut, Jerman pada tahun 1804. Ia merupakan seorang putra dari keluarga yang terpelajar. Ayahnya adalah seorang ahli hukum yang disegani dan ibunya merupakan seorang wanita yang saleh. Pada usia 15 tahun ia merasa tertarik dengan soal-soal keagamaan. 1823 ia belajar teologi di universitas Heidelberg. Ia pernah berniat menjadi seorang pendeta Protestan. Pada athun 1924 Feuerbach pergi ke Berlin untuk berguru pada Hegel. Ia kemudian mengubah haluan dari teologi menjadi filsafat dan menjadi salah seorang pengikut Hegel. Di Erlangen Feuerbach mendapat gelar doktor filsafat dan menjadi dosen.
       Karyanya yang paling penting dan termasyur adalah Das Wessen des Christentums (Hakikat Agama Kristen). Selain itu, ia juga menulis buku Das Wesen der Religion (Hakikat Agama) dan beberapa buku lain. Karya-karyanya diwarnai dengan sikap kritis radikal dan kritis atas religiositas manusia yang diagungkan dalam idealisme Hegel.
            Feurbach menikah dengan Bertha Löw seorang pemilik pabrik porselen dan memiliki seorang putri bernama, Mathilde. Putrinya meninggal saat masih berumur tiga tahun. Pada tahun 1870 Feurerbach terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal di desa Rechenberg, dekat kota Nürnberg.
           Tesis utama Feurbach tentang Allah demikian: Allah adalah hasil pikiran manusia dan bukan sebaliknya. Perihal adanya manusia adalah realitas konkret yang tidak terbantahkan, an sich. Inilah dasar kritik Feuerbach yang membawanya pada sebuah konklusi bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia tetapi Allah adalah hasil atau ciptaan angan-angan manusia.
Sebelum kita mengkaji pandangan Feuerbach bahwa agama merupakan hasil proyeksi diri manusia, kita perlu menggali dasar-dasar pemikiran Feuerbach tersebut. Gerak perubahan pemikiran Feuerbach tampak jelas dalam perubahan pahamnya.

            Dari Idealisme ke Materialisme
            Materialisme merupakan pandangan bahwa yang sungguh-sungguh real adalah materi. Kenyataan indrawi konkrit adalah alam material. Alam merupakan dasar terakhir dari kanyataan. Hal ini berarti seluruh kenyatan dapat dikembalikan pada Alam material sebagai kenyataan akhir. Manusia sebagai ubjek menyadari alam hanya dengan cara membedakan dirinya dari alam itu. Dengan demikian, alam menjadi dasar bagi kesadaran. Oleh karena itu, apa yang disebut Hegel sebagai ”Idea”, “Roh”, “Logos”di hadapan Feuerbach berubah menjadi alam material.

            Teologi menjadi Antropolgi 
            Berdasarkan kritik prisipilil Feuerbach terhadap pandangan Hegel, Feuerbach berpendapat bahwa realitas yang tak terbantahkan adalah pangalaman indrawi bukan pikiran spekulatif. Kita harus bertolak dari dari satu-satunya realitas yan tak terbantahkan, dari kepastian indrawi. Realitas indrawi langsung meyatakan diri. Olehkarena itu, hanya ada satu titik tolak yang sah bagi filsafat, yaitu manusia indrawi.
Feuerbach menyatakan bahwa manusia sadar diri dan mampu membedakan dirinya dari alam. Allah dinyatakan sebagai idealisasi hakikat manusia. Allah tidak lain dari pada hakaikat manusia sendiri yang sudah dibersihkan dari segala keterbatasan atau ciri individualnya dan dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom di luar manusia. Dengan demikian, bagi Feuerbach teologi itu tidak lain dari pada antropologi. 
             
             Allah sebagai Proyeksi Diri Manusia          
            Dengan berpegang pada pengandaian bahwa realitas indrawi menjadi dasar berfilsafat Feuerbach mengkritik agama. Menurut Feuerbach bukan Allah menciptakan manusia melainkan Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka tidak memiliki kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanyalah gamabar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri. 
Feuerbach secara tidak langsung mengungkapkan bahwa hakikat Allah tidak lain dari pada hakikat manusia yang diabsolutkan dan diobjektifkan sama dengan mengatakan bahwa Allah adalah hasil proyeksi diri manusia sendiri. Dengan proyeksi ini dimaksudkan bahwa manusia memiliki kekuatan-kekuatan hakiki seperti, berpikir tentang kesempurnaan, menghendaki kebaikan, dan mengalami cinta. Semua kekuatan hakiki manusia serba terbatas dan tidak sempurna maka ia membayangkan adanya sebuah kenyataan yang memiliki semuanya secara tak terbatas kenyataan itu dibayangkan berada di luar dirinya. Kenyataan itu sebenarnya tidak lain dari pada objektifasi kesadaran diri mausia sendiri yang dalam bahasa Feuerbach disebut “proyeksi diri”. 

            Catatan Kritis Pandangan Feuerbach
Feuerbach adalah pemikir pertama yang memberikan dasar ilmiah-modern buat ateisme. Cara berpikirnya menjadi titik pangkal berbagai bentuk ateisme, baik ateisme social politik (Marx), ateisme eksistensial (Nietzsche, Sartre), dan ateisme psikologis (Freud). Pandadangan Feuerbach ini perlu diperiksa dan diberikan catatan kritis.
Pertama, berhadapan dengan pendapat bahwa agama hanyalah proyeksi manusia. Feuerbach pun belum menyentuh pertanyaan ini; apakah memang Allah itu tidak lebih daripada sekedar proyeksi diri manusia? Bahwa dalam agama-agama ada proyeksi manusia, tidak berarti bahwa agama tidak lebih daripada sebuah proyeksi.
Pertanyaan dasariah apakah Allah itu ada atau tidak, juga belum ia sentuh. Feuerbach hanya berusaha mengidentifikasi Allah sebagai hasil angan-angan manusia. Ia hanya bisa mengatakan bahwa Allah bisa dimanipulasi oleh orang beragama  yang merasa terblokir dambaannya. Oleh karena itu seandaianya Allah itu memang ada, maka tentu tidak ada salahnya jika manusia itu menyembahnya, menyandarkan diri pada-Nya sebagai entitas tertinggi, yang lebih dari sekedar proyeksi diri manusia. Justru dalam pengakuannya akan Allah (jika Allah benar-benar ada) manusia menemukan jati dirinya.
Kedua, Feuerbach memandang agama sebagai suatu yang monolog. Agama sama seperti musik, keduanya monolog di dalam subjek sendiri dengan perasaannya. Musik dengan agama hanyalah mencerminkan isi perasaan subjek sendiri. Bagaimana subjek yang terbatas dengan perasaan-perasaannya berhubungan dengan kesadaran yang tak terhingga? Feuerbach mendasarkan teorinya atas sustu identifikasi yang tidak dapat diterima. Agama merupakan suatu kesadaran dari ketakterhinggaan. Oleh karena itu, agama adalah kesadaran diri tetapi itu terlalu cepat. Hal ini karena ketakterhinggaan yang dialami oleh kesadaran cukup berbeda dengan ketakterhinggaan yang dihormati dalam agama. Manusia tidak bisa berdoa kepada keluasannya sendiri.
Di sisi lain, seandainya memang Allah adalah proyeksi diri manusia, maka sulitlah untuk menjelaskan bahwa sifat-sifat sempurna yang kita lekatkan pada Allah niscaya dapat diraih oleh manusia. Manusia pada dasarnya makhluk terbatas, dan bagi orang beragama (yang mengakui Allah), maka hal yang khas bagi Allah adalah keberadaanya yang tak terhingga. Dan manusia sebagai makhluk yang terbatas, dalam lingkup pengalaman inderawinya, tidak pernah mengalami apa yang tak terhingga itu. Maka, tidak mungkin bahwa hakikat tak terhingga (yang ditunjukkan dengan kata maha-) itu sebagai proyeksi dari hakikat manusia karena hakikat ketakterhinggaan dalam kemanusiaan tidak ada.
 Dapat dikatakan bahwa teori proyeksi Feuerbach gagal suatu yang paling hakiki dari  pangalaman agama.: bahwa manusia berhadapan dengan realitas yang tak terhingga. Teori proyeksi tidak dapat membuktikan bahwa semua ciri yang dipercayai dimiliki Allah adalah proyeksi diri manusia. Feuerbach tidak dapat menjelaskan bagaimana manusia membentuk konsep pengada yang tak terhingga dan maha dalam pangalaman empiris kita.

            Penutup
Dengan mengatakan Allah sebagai proyeksi dari angan-angan  manusia akan hakikatnya yang sempurna, maka Feuerbach jatuh dalam antropologi yang justru mempermiskin pemahaman mengenai manusia. Manusia bagi Feuerbach hanya dilihat sebagai makhluk inderawi. Ia dilepasakan dari kemampuan lain di luar kemampuan inderawinya. Itu semua tidak diperhatikan Feuerbach. “Secara tegas dapat dikatakan, manusia bagi Feuerbah adalah manusia kurus, materialistik, tidak kaya, dan monodimensional.”Ia mengajarkan suatu antropologi yang berpretensi memperkaya manusia. Namun ironinya, antropologi Feuerbach malah mempermiskin manusia–justru lantaran ia membuang agama dari padanya.
Meski demikian konsep Allah sebagai proyeksi diri manusai ada manfaatya juga bagi orang-orang beriman. Kerapkali orang beriman (terutama para pemimpin) melakukan sesuatu atas nama Allah, padahal itu adalah pantulan dari kehendaknya sendiri untuk berkuasa, mendominasi dan mendapat kepuasan batin atau mungkin juga demi pemenuhan hidden needs dalam dirinya. Fantasi saleh yang keterlaluan-bukan tindak mngkin merupakan pelarian khayal dari kemalasan dan ketakutan untuk  berusaha. Maka bagi orang bergama, sisi  positif dari konsep Feuerbach adalah diajak bahkan didesak untuk mawas diri dan wapada terhadap laku hidup beragam karena Allah itu yang dijadikan sebagai sandaran nilai-nilai adalah hasil proyeksi.



Daftar Pustaka:
F. Budi Hardiman, 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia
Hamersma, Harry. 1990. Tokoh-tokoh  Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Lili Tjahjadi, Simon Petrus. 2006. Sang Humanis-Ateis itu bernama FEUERBACH, Jakarta: STF Driyarkara,
______________________. 2006. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius.
Magnis-Suzeno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Schacht, Richard. 1970. Alienasi (diterjemahkan oleh I Mahyudin dari judul aslinya Alienation, Anchor Books, New York, 1990). Yogyakarta: Jala Sutra


Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

SUNGAI TERKUTUK

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)