365 HARI ADALAH JEJAK



 (Sekian jejak dalam waktu 365 hari)

Beberapa tahun yang lalu kusaksikan pesta kembang api dari menara air di sudut rumah. Aku memang seperti ini: menghabiskan waktu dalam batas hari, bulan bahkan tahun. Dengan hati penuh harap kusambut hari yang telah aku nantikan selama tiga ratus enam puluh lima hari itu. Satu hari baru dalam rangakaian tiga ratus enam pluh lima hari yang baru. Tiga ratus enam puluh lima hari dengan sejumlah rencana yang menempati hari-hari, tanggal demi tanggal dalam agenda harianku. Tiga ratus enam puluh lima hari yang aku nantikan dengan harapan. Tiga ratus enam puluh lima hari yang akan kutandai di kalender yang melekat di dinding kamarku dan di meja belajarku.
Tahun lalu aku lewati malam pergantian tahun  di  Fly Over yang membelah  jalan Bazuki Rahman dan Pahlawan Revolusi. Hitungan hariku tak terasa menghabiskan sederet tanggal dengan coretan tinta dan meninggalkan jejak pena untuk sekian peringatan. Kemudian berharap semuanya jadi kenangan. Terjadilah padaku di suatu malam yang membuatku bisa rasakan sesal mungkin saja karena banyaknya waktu yang terbuang. Malam itu aku ingat betul: Sehelai kertas kugenggam dengan yang siap kububuhi. Aku mengambilnya dari sekian banyak lembaran kosong dalam buku harianku. Kutulis sesal dan harapanku. Sedikit magis susana malam itu. Dengan lilin lampu di atas meja belajarku. Kusobek secarik kertas yang tertera jelas tulisan” Aku Menyesal”. Tanpa tanggung aku membakar kertas tersebut. Sobekan yang tersisa kupajang di atas meja belajarku. Jelas terbaca olehku, “AKU BISA”.  Aku ingin membuat jejakku berarti sekurang-kurangnya untuk bisa bercerita lagi. Semuanya terjadi ketika aku bisa menyadarinya belum terlambat dan merefleksikannya sesaat sebelum tiga ratus enam puluh lima hari ini benar-benar berlalu. Aku belum puas dengan waktu sejam yang berlalu di hadapan lilin, kuambil lagi agenda harianku dan mencoba menulis tentang 365 hari.
Tiga ratus enam puluh lima hari adalah sederat waktu dengan aneka kisah, situasi dan kerumitanya masing-masing. Kadang aku dibuatnya tersenyum, menangis, kecewa, bahagia, dan sedih. Tiga ratus enam puluh lima hari itu menempatkan aku sebagai orang yang mesti  bertanggung jawab terhadap semua peristiwa yang terjadi dalam hidup ini.
Tiga ratus enam puluh lima hari itu tentang waktu yang aku pakai. Aku mungkin tidak merangkainya dalam catatan harian aku tetapi aku telah menciptakan laku tanpa skenario yang menjadikan hidup ini seperti sebuah kenangan yang suatu saat hidup kembali dalam ingatan. Aku mungkin tidak dapat membuatnya begitu besar sehingga tampak indah dan menarik bagi yang menyaksikannya.  Aku hanya cukup dengan membuatnya bermakna dan berarti untuk  mengubah diri aku menjadi lebih baik.
Tiga ratus enam puluh lima hari itu cerita tentang hidup yang kujalani. Hidup adalah sebuah perjalanan. Tiga ratus enam puluh lima hari  itu adalah  satu langkah tuk meninggalkan kamar  dan langkah terakhir ketika aku tiba di ruang doa. Aku akan  katakan tentang  jalan dan orang yang kijumpai. Satu langkah adalah keptusan dan berjalan adalah perubahanku. Satu  langkah yang dahulu aku ambil membuat aku bisa berjalan lebih jauh terpisah dan menyatu.
Di awal perjalanan aku membuat keputusan. Keputusanku adalah pergi meninggalkan orang terdekat. Dalam perjalanan dalam tiga ratus enam puluh lima itu aku tak hanya berjalan bersama orang lain tapi ada saat yang kusebut sendirian.
Tiga ratus enam puluh lima hari adalah warna dan makna. Aku seperti melukis mawar merah  dengan hijau daunya yang tumbuh di tanah coklat. Mekar di kala bias putih mentari pagi meniadakan hitamnya lagit malam. Mawar itu  Perjalanan menunjukan suatu gerak perubahan yang juga menggambarkan bagaiman hidup aku berubah dari hari ke hari. Dalam perjalanan aku akan terlusuri jalan dengan beraneka ragam. Jalan yang berlubang, berdebuh, berkerikil, berbatu, berair. Dengan itu aku dilatih untuk belajar dari setiap situasi hidup ini. Semuanya punya pengaruh bagi perjalanan aku, memberi makna yang berbeda dari setiap ceritaku.
Dalam perjalanan itu aku akan bertemu dengan situasi dan orang yang berbeda. Peretmuan dengan orang itu terjadi mungkin saja terdorong oleh kesamaan tertentu terutama kesamaan tujuan. Perjalanan kadang membuat aku letih dan aku tidak perlu takut dan cemas karena akan ada tempat di mana aku bisa berhenti sejenak. Dalam genggaman waktu aku pernah menjejakan kaki di tempat yang sama tuk kesekian kalinya. Kadang aku ada dalam lingkaran waktu di tempat yang sungguh mengalianasi diri dan memberikan kau rasa asing. Namun hal yang lebih bearti adalah bagaimana kehadiran itu akhirnya dihargai dan aku menjadi sungguh (human) being yang mampu bereksistensi.
Pada kalimat-kalimat terakhir yang menutupi refleksi pada akhir tahun itu aku tuliskan  kalimat yang selalu diulang seorang teman”Waktu bisa membuat segalanya berlalu". Kini aku berda di batas waktu. Kisah yang pernah tertulis dan cerita yang pernah didengar bahkan dibuat hanya jadi kenangan.  Hari baru akan segera mengubah kisah akan tulis dengan latar dan suasana hati dan peasaan yang mungkin berbeda. Mungkin juga orang-orang yang menjadi pelakunya pun berbeda. Semuanya bisa terjadi di tahun yang baru ini.
                Kututup agenda harianku kemudian keluar dari kamarku. Kutemui semua orang yang ada dihadapanku untuk mengucakpan salam dan selamat. Inilah pesta tahun baruku. Aku kemudian menyusuri lorong hingga ke jalanan. Begitu mengesankan menyaksikan kembang api yang mengiasi langit malam itu. Namun yang lebih mengesankankan adalah suasana baru yang kemarin tidak aku lihat. Senyum yang tulus dari bibir yang kemarin mencibir, suara sapaan yang lembut dari mulut yang seminggu yang lalu marah, lambaian tangan bahkan berjabatan tangan dari tangan yang kemarin diacungkan dengan golok dalam kepalannya. Malam ini sunguh ada kedamaian yang kurasakan.     
            Aku terpana seakan tak mau lepas dari malam itu walau suara dari masjid menandakan malam akan segera berakhir. Aku relakan semuanya berlalu. Kubuat jejak sendiri di hati ini bahwa semuanya ini pernah terjadi. Kembalilah aku ke kamarku lalu terlelap.
            Hari ini kunikmati lagi hari terakhir untuk hitungan 365 dan aku rasa ada perubahan. Tiga ratus enam puluh lima hari kemarin adalah jejak dan waktu 365 nanti adalah langkah. Tuntutan yang sama adalah perubahan.    



Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK