Pastorku, Aku Cinta Kamu


Tumpukan kado saling menindih di dalam kamar yang beberapa tahun  lalu menjadi kamarnya. Kemarin penghuni kamar itu dithabiskan di sebuah gereja tempat ia pertama kali belajar menjadi misdinar. Kado-kado hadiah thabisan yang diberikan oleh sahabat, keluarga dan kenalannya itu cukup banyak sehingga ia enggan membukanya sendirian. Ia mengajak ibu dan seorang adik perempuannya untuk membuka isi kado-kado itu. Isi kado yang terkumpul tersebut  ia bagikan kepada adik-adiknya, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. Setelah semua selesai, pastor muda itu kembali ke kamarnya dan mengepak barang yang perlu untuk misi barunya.
****
Ketika sedang membereskan barang-barangnya di dalam kamar, ia mendengar suara seseorang yang memanggil namanya sembari mengetok pintu. Sapaan yang khas dari ayahnya terdengar jelas. “Anak”
“Iya bapa, ada apa pa?” Ia langsung membuka pintu kamarnya perlahan dan mendekat ke arah sang ayah. Ia kaget melihat sebuah kado yang ditenteng ayahnya.
 “Bapa kado buat siapa itu?”
Mama.., kayaknya masih ada kado yang terlupakan tadi, itu bapa sudah bawa, kata adik perempuannya dari kamar yang  berhadapan dengan kamarnya.
“Bapa, ambil dimana?”
“Bapa, mau beri kado buat kakak pater kah?”, tanya adik perempuannya.
Sambil tersenyum sang ayah memberikan kado tersebut kepadanya.
“Aiii bapa ni romantis sekali ew pake beri kado segala”, kata imam baru itu kepada ayahnya.
Anak, ambil dulu, buka, kalo mau bagi-bagi silakan. Kalo mau bawa juga tidak apa-apa.
*******
Dengan senyum ia mengambil kado berbentuk persegi itu. Kado itu cukup berat. Pengirim kado itu sepertinya dengan sengaja membuat kado itu berlapis-lapis. Pertama berlapiskan koran berisi berita dan pada lapisan kedua yang persis berbatasan dengan kardus ada undangan tabisan. Ia mengambil undangan tabisan tersebut dan membacanya ternyata undangan tersebut adalah undangan untuk tabisannya sendiri. Ia tiba-tiba diam. Ayah dan adiknya menatapnya penuh keheranan. Ia kembali membuka kado tersebut. Pada lapisan terakhir kelihatan jelas sebuah kertas yang ditempelkan pada bagian atas kado tersebut.
“Sudah siap?” tulisan itu diberi gambar emotion tersenyum. Pikirannya langsung tertuju pada Grace sahabatnya, mantan kekasinya. Ia melihat gambar itu lebih dekat, wajahnya tampak memerah dan senyumnya hilang, tatapannya kosong. Ayah dan adiknya kian bingung. Tarikan nafasnya terhenti sejenak.  
“Bapa dengan ade tinggalkan saya sendirian dulu eewww”.
“Biarakan saya buka ini sendiri dulu, sebentar saya akan panggilkan kamu semua”
“Tidak lama, hanya sebentar saja”, katanya berbata-bata.
*****
Sang ayah dan adiknya langsung menuju  dapur di mana ibu sedang menyiapkan makan siang. Ibunya yang sedang memotong sayuran pun bingung dengan raut wajah ayah dan adiknya.
“Ada apa?”, tanya ibunya.
“Saya tidak tahu mama, bapa ni yang tahu. Tadi bapa beri kado untuk kakak pater. Saat membuka kado, raut wajah kakak pater seketika itu juga menjadi murung. Kemudian kakak pater meminta agar kami biarkan dia sendirian di kamar”. Ibunya ikut panik mendengar kesaksian adik perempuannya. Ibunya membiarkan potongan-patongan sayuran di atas meja. Ibunya menatap adiknya dengan penuh harap. Sang ayah mendekati ibu dan mengatakan bahwa putranya akan menjelaskan semuanya.
“Bapa terima kado itu kapan?”
“Siapa yang berikan kado itu?” 
“Bapa kenal orangnya?”, tanya ibu dan adik perempuannya bergantian.
“Bapa tak mungkin cerita sebelum anak pastor datang dan menceritakan perihal kado itu.
Bapa tidak kenal siapa orang itu. Orang itu hanya memberikan pesan untuk memberikan kado itu langsung kepada pater.”
“Laki-laki atau perempuan?”, tanya ibunya ingin tahu.
“Perempuan muda.”Jawab ayahnya dengan suara yang teratahan, sesak diantara rongga dada.
******
Kamar yang tadinya penuh gelak tawa dan canda berubah menjadi bilik sunyi yang kian sesak. Dia hanya bisa diam dan menatap kado yang kini dalam genggamannya. Tangan yang telah mengemas ‘bekal’ untuk jejak-jejak misi yang telah terbayang, kaku dalam ruangan yang sesaat mati. Kenangan-kenangan lama yang telah terkubur di dasar jiwanya terkuak oleh sebuah kado yang tak pernah lagi ia bayangkan. Kenangan itu begitu kuat mengikat raga untuk bergerak. Darahnya mendesir dalam nadi menahan tanya yang akhirnya harus ia jawab sendiri.
“Siapa yang memberikan kado ini kepada ayah?”
“Grace?”
“Tak mungkin dia mengantarkan kado ini.” 
“Kapan ia mengantarnya?”
“Kalau benar Grace menghantarkan kado ini tak mungkin ayah tak mengenalnya.”
 Ia bingung dengan pertanyaan dan dugaan-dugaan yang dibuatnya sendiri.
“Jika Grace menghadiri perayaan tabisanku kemarin pasti ia akan mendatangiku. Kalaupun tidak langsung memberikan kado ini, minimal ia akan menyalami aku.” Pastor itu meletakan kado itu di atas meja dan berdiam sejenak. 
                                                                         *****
Sejam berlalu. Orang tua dan adiknya masih menunggu di dapur. Ibunya semakin lemah dan kerut di wajahnya bertambah memikirkan anaknya.
“Anita, coba lihat kakak mu di kamarnya”, suara ibunya kepada adiknya.
“Tidak usah Anita”,bantah ayahnya. Dia akan datang dan menjelaskan semuanya.
“sudah lama begini, memangnya kadonya sebesar apa?” kata ibunya tak mau mengalah.
“Sabar ibu, sante saja. Ibu percaya dengan dia kan?”
Ibunya hanya menganggukan kepala kemudian menunduk. Air mata tak terbendung lagi dari kelopak matanya dan ibunya pun menangis. Mata adiknya mulai mererah. Ayahnya duduk bersandar di samping pintu, tepat di bawah jendela sembari menatap ke luar.
                                                                         *****
Imam baru itu masih membuka satu persatu isi kado tersebut. Isinya adalah surat-surat yang pernah ia kirimkan selama mereka bersahabat dan menjalin hubungan dekat. Semuanya sudah terjadi jauh sebelum ia menjadi seorang frater. Surat itu dibukanya dan diletakan di atas mejanya. Tumpukan kertas itu membuat kadonya terasa berat dan tulisan di balik kertas itu membuatnya terdiam. Ia tak mampu membuka semua surat itu apalagi membaca semuanya ulisan tangannya yang ia buat belasan tahun yang lalu. Pada bagian paling dasar ada sebuah kartu bertuliskan, “Engkau tetaplah sahabat walau telah menjadi mantan Kekasihku. Engkau tetaplah sahabatku  yang kini menjadi seorang pastor. Saya berdoa semoga engkau tak pernah menjadi mantan pastor dan tidak akan pernah menjadi kekasih siapapun yang ada di dunia ini. Hari ini saya memberikan apa yang seharusnya engkau terima. Ini janjiku. Salam dari umat dan sahabatmu”.
*****
Teringatlah imam baru itu bahwa ketika ia masih frater, Grace pernah berjanji akan mengembalikan semua surat yang dikirimnya jika ia ditabiskan menjadi imam. Ia pun tersenyum lalu bergegas ke arah dapur untuk menceritakan perihal kado tersebut kepada orang tua dan adiknya. Setelah menceritakan semuanya, ayah, ibu, dan adiknya pun tersenyum. Pastor muda itu pun kemudian pergi ke tanah misinya dengan penuh semangat.
****

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

SUNGAI TERKUTUK

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)