Perang Adil ( Bellum Iustum)



St.Agustinus dari Hipoo dianggap sebagai perintis gagasan perang adil. Menurut Agustinus perang adil kurang jahat jika dibandingkan dengan kejahatan kaum bar-bar yang memandang segala sesuatu yang bisa dilakukan adalah selalu benar. Gagasan perang adil muncul dalam kurun tertentu dan dengan situasi serta latar belakang di mana kekuasan berpusat pada satu otoritas tertinggi abad pertengahan yakni, Gereja Katolik Roma. Dalil perang adil menurut Agustinus dikaitkan dengan perang untuk melawan penghujat Allah. “Hanya karena alasan-alasan yang adil dan benar sajalah, perang dapat dibenarkan dan dilaksanakan. Perang boleh bahkan harus ditempuh demi membelah dan mendapatkan kembali hak milik pribadi yang dirampas pihak lain.”  

Dalam konteks perang  salib konsep perang adil dijiwai oleh semangat untuk merebut kembali Yerusalem (The Holy Land) yang diyakini sebagai wilayah milik agama Kristiani. Hal ini didasarkan pada pandangan tentang peristiwa Yesus Kristus yang terjadi di wilayah tersebut dan agama Kristen pun lahir dan berkembang di tempat itu. Namun semangat perang salib sebagi (perang suci) saat itu dipengaruhi oleh motivasi yang berbeda-beda, seperti tawaran indulgensi, kepentingan sosial, ekonomis, dan kepentingan pribadi.
Gagasan perang adil (bellum iustum) menjadi gagasan yang berubah dan selalu diperbaharui pemahamannya berdasarkan peradaban masyarakat. Berhadapan dengan etika dan moral yang termuat dalam gagasan Hak Asasi Manusia (HAM) perang memunculkan pertanyaan: apakah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan menjaga nilai-nilai? Membunuh tidak dapat dibenarkan secara moral. Dalam ajaran agama Kristiani juga gagasan perang secara mendasar ditolak. Hal ini nampak dalam hukum utama Kristiani yakni cinta kasih. Selain itu ajaran gereja yang menekankan perdamaian dan keadilan sebagaiman yang diperjuangkan geraja saat ini.

Pada abad 20 ada banyak peryaratan yang dibuat dalam suatu perang. Bukan hanya sekadar larangan berperang di hari besar keagamaan seperti yang terjadi pada perang salib. Syarat-syarat yang dibuat sedemikian rumit seperti, perang sebagai jalan untuk membela dan mempertahankan diri terhadap serangan yang tak adil. Perang harus ada kemungkinan berhasil yang sungguh nyata untuk meperoleh nilai yang lebih tinggi. Nilai-nilai yang hakiki tetap menjadi sumber dan tujuan perjuangan. Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas. Prasyarat ini dimaksudkan agar perang tidak terdadi karena pada kenyataan perang selalu berujung pada degradasi nilai moral dan kerugian materi bahhkan nyawa. 

Sumber:
Eddy Kristiyanto, 2002, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius.
Gerald O’C, sj dan Edward G. Farrugia,Sj., 1996, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius.
Thompson J. Milburn , 2009, Keadilan dan perdamaian: Tanggung Jawab kristiani dalam Membangun Perdamaian Dunia, (ed..Steve Gaspersz), Jakarta: BPK Gunung Mulia.


Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK