ISLAM DAN FEMINISME : GENDER



Pembelaan terhadap kesetaraan gender merupakan suatu titik balik bagi kaum perempuan. Gagasan gender sendiri lahir dari suatu pembongkaran atas penafsiran ayat-ayat yang meletakan pusat kehidupan perempuan pada laki-laki. Perjuangan ini berasal dari kalangan Islam Liberal dalam mewujudkan hak-hak perempuan.Inilah yang disebut gerakan “Islam Feminis”.Feminisme Islam lahir atas dasar kesadaran akan penindasan dan pemerasan dalam masyarakat dalam usaha untuk mengubah keadaan tersebut baik oleh perempuan maupn laki-laki. Menjadi feminis Islam bukan hanya untuk mengenali diskriminasi seks, dominasi laki-laki, dan system patriarkitetapi harus terdorong untuk menentangnya.Tujuan perjuangan kaum feminis adalah mencapai kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan serta tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah tangga.
Kalangan Islam Liberal akan mempersoalkan teks-teks keagamaan yang tidak mendukung kesetaraan dan kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebagai warga Negara di wilayah publik, serta peran komplementer di wilayah domestik. Beberapa karya penafsiran terhadap Kitab menggambarkan ketidaksetaraan tersebut.Imam Nawawi al-Bantany menafsirkan Q.s.,al-Nisa/4:34 dan menyatakan bahwa laki-laki diperbolehkan dalam agama untuk “mencari kesenangan lain” (poligami) sementara perempuan tidak diperbolehkan.
Demikian pula karya Imam al-Gazali menggambarkan mengenai hak dan kewajiban yang berbeda antara suami dan istri.Menurutnya hak seorang laki-laki lebih tinggi dari seorang perempuan. Semuanya ini menunjukan bahwa banyak ayat al-Qur’an dan Hadits sering dipakai dan dijadikan dasar legitimasi adanya ketidaksetaraan gender antara laiki-laki dan perempuan. Dengan begitu menjadi dasar ketergantungan keselamatan perempuan secara teologis kepada laki-laki.
Tujuan utama kalangan Islam Liberal adalah menciptakan kesetaraan gender berdasarkan kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Menurut kaum Islam Liberal kesetaran menjadi pesan utama dalam al-Qur’an. Kontroversial kesetaraan gender ini muncul ketika berhadapan dengan pandangan tradisional bahwa laki-laki mempunyai hak satu tingkat lebih tinggi dari perempuan. “Kaum laki-laki adalam pemimpin…”(Q.4:34). Riff’at Hasan menelusuri jejak tersebut dalam kosmologi penciptaan pertama di mana Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam dan menjadi ciptaan kedua.Ini menjadi suatu masalah kotroversial yang berkelanjutan.
Pandangan tradisonal tersebut hanya menempatkan fungsi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan seksual yang tidak ada kaitan dengan ketakwaan. Ukuran ketakwaan bukanlah peranan gender dalam kehidupan sosial. Di hadapan Allah laki-laki dan perempuan sama. ”Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar dan tabah, laki-laki dan perempuan yang khusuk, laki-laki dan perempuan yang memberi sedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, bagi mereka Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar” (Q. 33:35). Dengan demikan Abdullah Yusuf Ali menyimpulkan bahwa yang terutama dihadapan Allah adalah penyerahan kehendak kita­­­—laki-laki dan perempuan—kepada kehenndak Allah.
Masalah ketidaksetaran gender dalam penafsiran tradisional merupakan soal kehidupan sosial. Kecenderungan para penafsir yang melihat ketidaksetaraan sebagai bagian dari pandangan al-Qur’an. Inilah yang menjadi pertanyaan: “Kalau di hadapan Allah laki-laki dan perempuan adalah setara, mangapa di hadapan mausia malah tidak?”Pertanyaan ini memunculkan usaha untuk mendapatkan suatu pandangan baru yang lebih adil secara gender.
Dengan demikian, semua argumen supremasi atas perempuan harus dicurigai, walaupun itu adalah teks-teks suci yang secara literalnya memperlihatkan ketidaksetaraan.Berdasarkan pertimbangan tersebut diperlukan suatu metode baru dalam penafsiran.Pertama, penafsiran harus memperhatikan makna suatu pernyataan atas dasar  situasi kontekstual baik historis maupun sosiologis. Kedua, pernyataan-pernyatan dalam al-Qur’an juga perlu disaring berdasarkan tujuan moral-sosial umum yang ingin dicapai.
Para penganut Islam Liberal menekankan pembacaan sosiologis terhadap suatu relasi gender yang tidak adil dalam masyarakat Islam. Menurut mereka ketidaksetaraan ini muncul dari penafsiran yang lemah.Perbedaan penafsiran anatara para musafir dan feminis Muslim disebabka oleh latar belakang pemikiran masing-masing. Para feminis menafsirkan al-Qur’an dengan prespektif feminisme, sementara para musafir melakukan hal yang sama.Namun para musafir tidak melakukan kontekstualisasi penafsiran seperti yang dilakukan oleh kaum feminis. Perubahan metodologi hermeneutis dari kalangan Islam Liberal: Feminis kemudian membedakan “induk Kitab” dan bagian yang bersifat kiasan dan tamsil.
Model hermeneutis Islam Liberal berangkat dari suatu keyakinan bahwa vivsi dasar al-Qur’an adalah keadilan.Seluruh ayat dalam al-Qur’an pada dasarnya membawawacana keadilan, yang bervisi kesetaraan secara gender.Keadilan dan gender bukanlah suatu yang abstrak melainkan suatu yang kontekstual. Banyak ayat al-Qur’an dipakai sebagai dasar ketergantungan keselamatan perempuan terhadap laki-laki.
Sebenarnya soal ketidaksetaraan gender adalah masalah sosial, tidak berkaitan dengan masalah rohani. Para penafsir feminis rasionalis mendasarkan keyakinan mereka pada keadilan. Sebagian besar pandangan penafsir feminis Muslim menilai bahwa hermneutis al-Quran sangat lemah, misoginis, dan seksis.
Dalam postmodern tidak diakui grand narratives. Dalam hal ini kita melihat budaya lama yang menempatkan perempuan dalam cerita besar laki-laki yang menyudutkan perempuan. Dalam hal ini perempuan harus melakukan “ex-sentralisme” yaitu keluar dari kecenderungan yang meletakan laki-laki sebagai pusat dari kehidupan sosial perempuan.
Kalangan feminis Muslim yang memakai metode postmodern sebagai exercise of suspicion. Ini merupakan cara mendekonstruksikan semua bentuk sentralisme dan menolak ketidaksetaraan. Kunci hermrneutis sosiologisnya terletak dalam keseluruhan proses representasi dan keterkaitan pengetahuan dan kekuasaan. Kalau semua yang berkaitan dengan perempuan adalah representasi, dan setiap representasi berkaitan dengan teks berarti harus dicurigai adalah teksnya.
Menrut kaum feminis posmodernis Muslim perlu ada pembongkaran (dekonstruksi) atas seluruh pencitraan (representasi) perempuan yang mempunyai sudut pandang kepentingan laki-laki justru dilakukan untuk mendapatkan sudut pandang dan kepentingan perempuan sebagai subjek yang otonom.
Dengan menghadapi isu-isu kontekstual ini Islam diharapkan siap memperbaharui diri dalam menghadapi perubahaan zaman. Isu-isu liberalsme, pluralisme, gender tanpa diakui pun sudah menjadi bagian dari perkembangan zaman ini. Kita akan siap menjadi pribadi di hadapan perubahan yang besar ini dengan mendalami semua gejolak yang timbul dari perkembangan tersebut.

Sumber:
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Liberalisme,Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung, 2011


Budhy Munawar-Rachman, “Kesetaraan Gender dalam Islam, Persoalan Ketegangan Hermeneutis” dalam 
Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, no. 2

Murata, Sachiko, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: PT Mizan, 1998

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK