"Jalan Kita Masih Parah"

Anis mengemudi mobilnya menuju Kota dengan penumpang dan barang full bagasi. Penumpang yang dimutanya setiap hari pasar Wolowona adalah ibu-ibu penjual sayur dan buah dari Moni dan Ndu’a Ria. Walau jalannya cukup parah terkikis air di musim hujan, kerikil kecil sisa longsor dan berdebuh di musim panas mobil Anis tetap melaju cepat. Mungkin karena ia sudah biasa dengan jalan Moni menuju Wolowaru saat membawa anak pasar menjual hasil pertanian. Jalanannya lebih berbahaya, menuruni bukit.  Apalagi ketika sampai di tempat yang dinamai Kora Merah, sungguh menakutkan. Jalannya bertepikan jurang yang dalam dan berdindingkan tebing batu kekuningan. Anis tetap tiba dengan selamat di pasar dan membantu penumpang menurunkan barang. Ongkos perjalanan biasanya ditangguhkan setelah barang-barang laku terjual. Ia selalu melakukan itu karena ia tahu persis keadaan orang di desa. Selain itu ia ia cukup akrab dengan ibu-ibu yang juga anggota persekutuan doa di gereja yang sama.
Dari Pasar Wolowona ia berjalan menyusuri Kota dan mengitari beberapa tempat terutama sekolah-sekolah. Ia selalu berhenti di depan STM  tempat ia memutuskan untuk berhenti studinya. Ia tak bisa menyelesaikan tahun terakhirnya karena kesulitan biaya. Ia memutuskan berhenti dari sekolah otomotif yang ditekuninya selama dua tahun. Sekolah itu membuatnya cukup tahu bagaimana memperlakukan mobil yang dikendarainya. Inilah salah satu alasan mengapa Haji Akbar, majikannya mempercayakan mobil itu kepada  Anis.Di jalanan Anis bertemu dengan anak-anak dari desanya yang belajar di Kota. Ia memberi mereka tumpangan gratis dan mengantar mereka ke Asrama. Kadang-kadang ia memberikan sedikit uang jajan untuk anak-anak. Sebelum jam dua siang ia kembali menuju pasar Wolowona menjemput ibu-ibu tuk berbelanja di Kota sebelum kembali ke desa. Perkiraan waktunya selalu tepat guna. Jam dua mereka tinggalkan Kota dan akan tiba di Moni sekitar setengah empat sore. Ini waktu yang tepat buat ibu-ibu menghampiri sawa dan kebun menyiram sayur dan memetik beberapa untuk makan malam. Yang lain mengambil kayu api tuk memasak air dan membuat kopi.Anis memarkir mobil di depan rumahnya kemudian ke sawah melihat padi dan mengontrol saluran air. Kembali dari sawah ia membawa makanan ternak peliharaannya. Di kampung banyak acara yang berbau adat yang biasanya butuh ternak sebagai korban entah untuk persembahan atau sebagai lauk untuk para tamu undangan. Setiap keluarga biasanya punya hewan peliharaan yang sesewaktu bisa jadi pilihan tetap untuk disembelih ketimbang harus membeli dengan harga yang jauh lebih tinggi.Malam kembali menjemput langit sore dengan hilangnya mentari di balik gunung Kelimutu. Dingin mulai terasa dan banyak orang berjalan menuju tempat pemandian. Anis merendam tubuhnya di air panas alam hadiah dari Gunung yang diyakini surga orang Lio. Anis mengusir penatnya dengan membenamkan diri di kolam air panas Lia Sembe. Anis selalu datang ke tempat itu meskipun banyak orang bilang kolam ini tak seperti semula. Kata mereka, kolam ini hilang rupa ketika timbul ide mengganti susunan batu alam yang menjadi dasar dan dinding kolam.Anis punya pikiran yang lain. Ia berpikir tentang perubahan. Malam itu Anis ingin jadi orang terakhir meninggalkan kolam. Ia ingin berdiskusi dengan penjaga dan petugas kebersihan. Ia ingin tahu sedikt tentang ide dan agen yang menyortir dana material dan biaya pekerja. Pertanyaan itu rupanya terlalu sulit mungkin juga jawabannya adalah rahasia. Penjaga kolam hanya tersenyum.“Eja kolam ini jadi tertata setelah diubah begini macam” kata Anis kepada seorang teman yang bersiap meninggalkan kolam.“Apa? Supaya kau tahu, kesan alami kolam ini hilang saat batu-batu alam diganti,” kata pemuda yang berendam dekatnya. Anis cukup kaget.“Tidak hilang tapi jadi lebih baik. Keramik putih dan semen tak mengubah airnya di kolam ini panasnya masih terasa dan lelah masih bisa lenyap. “Ada pergantian air dan pembersihan kolam.”“Lebih baik?” Apanya yang baik? Sekarang masuk kolam bayar! Dahulu tidak begini”“Tapi, apakah kamu kan tidak bayar?“Dahulu kolam ini antik. Kau pernah lihat susunan batunya menarik. Apa kau buta?” Suara pemuda itu mengganas. Bauh darah amarah sudah tercium makin dekat seperti bauh moke yang biasa ditegak gratis di Pasar Moni.“Tidak! Saya lihat, jelas sekali batu-batu itu berlumut bahkan lumutnya tebal sekali,” jawab Anis kepada pemudanya pelan.Pikiran Anis memang begitu, tapi tak sedikit yang menolak perubahan itu. Yang lain menambah pendapat yang seolang meruncing perbedaan. Malah tanggapan balasan seakan ingin ciptakan masalah. Pemuda itu menatap Anis lekat. Tatapannya persis sama saat minuman keras melarutkan akal sehatnya. Di matanya tergambar pangalaman pahit Anis saat beberapa bulan lalu.    “Eww babu…Kau ini tidak menghargai usaha para pendahulu.”“Saya hargai tapi buka dengan cara itu”“Cara kau Apa?”“Saya bayar kalau mandi di sini.”“Lalu? Kau pikir kami tidak bayar?”“Kau pikir kami tidak ada uang kah?”“Kau tunggu kau babu. Kau dengan kau punya mobil itu!”“Kita lihat saja nanti” Wajah mereka tanpak kurang jelas karena lampu dekat kolam memang suram, meremang. Anis tahu benar siapa mereka. Anis tahu persis siapa pemuda itu. Anak orang terpandang yang hobinya minum arakbrand minuman kerasnya orang Flores. Suara mereka sudah biasa didengar, kalau bukan saat mereka mabuk di pesta, kadang di pinggir jalan, berteriak dan meminta jatah pada di mobil-mobil yang lewat. Anis paham benar pribadi yang jadi buah bibir itu. Anis diam beberapa saat dan wajah-wajah yang mengitari kolam itu pun diam menanti tanggapan Anis. Mendengar suara keras pemuda itu, pengunjung kolam tak berani mendekat menampakan wajah. Pemuda itu ahli penghafal wajah karena ia akan menandai setiap gerak dan kata. Rupanya ia berguru di sekolah dendam.Beberapa pemuda itu segera meninggalkan kolam sambil menggerutu. Rupanya mereka menyusun rencana untuk menyerang. Biasanya di pasar, di jalanan atau di tempat pesta. Ide-ide nakal terucap silih berganti. Tidak ada yang tahu yang mana yanga terjadi. Bahkan kapan dan siapa saja yang akan terlibat, sendiri-sendiri atau bersama. Menurut sejarahnya si kelompok ini biasanya bersama. Seorang yang berambut ikal tapi dibiarkan panjang bersuara.“Kita tunggu saja dia di jalan.”“Kita bocorkan saja semua ban mobilnya”.Suara mereka kian perlahan lalu hilang. Anis menarik napas dan keluar dari kolam sesaat. Ia sungguh ingin menyimpan pikiran sehatnya. Dalam hatinya ia menggumam, kayaknya hal ini perlu diskusi dan saya akan undang tuan tanahMosa laki,dan warga sekitar. Tapi, itu semua butuh waktu dan biaya. Dan Anis tak yakin ia bisa menyanggupi semuanya. Ia juga tak yakin kalau semua tertarik dengan diskusi, apalagi kalau topiknya sedikit berbau adat dan mengundang mosa laki. Ini akan ada korban darah, darah binatang tentunya. Ia langsung ingat babi di kandang belakang rumahnya, baru beranak dan tak mungkin ia mengobankan induknya. Kambingnya ia siapkan untuk wurumana (acara keluarga) beberapa hari lagi. Tak mungkin kambing dikorbankan untuk acara adat pikirnya dalam hati. Pikirannya kacau.Pikiran anis membawanya kepada kejadian beberapa bulan lalu saat mobilnya melaju dan beberapa orang menghadang mobilnya. Mereka memberinya segelas minuman tapi ia tak menerima minuman itu. Mereka meminta jatah, retribusi liar pemuda jalanan. Pemuda-pemuda itu memukul-mukul kaca mobil. Anis terpaksa memberikan uang demi keselamatan mobil yang dipercayakan kepadanya.Anis menaiki anak tangga menuju jalan utama. Sebelum meninggalkan ia menuju kamar ganti yang sedikit berbeda. Para penjaga itu mengangkat alat-alat dan mulai membersihkan kolam. Anis mendaki diterangi lampu yang hanya cukup untuk membuat kaki tak terantuk pada anak tangga. Anis melewati beberapa rumah warga. Ia tahu persis rumah Mosa laki yang sering ia lewati bahkan ia sering kunjungi rumah tuan tanah untuk urasan gereja. Ia ingin berhenti sejenak di sana tapi ia enggan. Pertanyaan saya malam ini berbeda mungkin si tuan tanah akan berubah pikiran. Anis memilih pulang.


Comments

Unknown said…
Mantap teman...

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

SUNGAI TERKUTUK

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)