THOMAS AQUINAS: Manusia dan Pengetahuan Akan Allah
1. Pengantar
Manusia adalah ciptaan yang unik. Manusia memiliki sifat dan kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Kehadiran manusia di dunia ini bukan merupakan suatu yang terjadi begitu saja. Ada kegiatan (penyebab) sebelumnya yang terjadi sehingga manusia ada. Kenyataan lain menunjukkan bahwa manusia tidak kekal di dunia ini. Suatu saat orang akan meninggalkan dunia ini. Ada saat lahir dan ada saat orang mati. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah darimakah manusia? Apakah hidup ini abadi?
Segala sesuatu berjalan pada jalurnya sendiri-sendiri. Manusia sadar bahwa ada “sesuatu” yang mewujudkan semua itu. Dengan bantuan akal budinya manusia mencoba membuktikan “sesuatu” itu. Makalah ini mencoba mengemukakan pemikiran Thomas Aquinas tentang Manusia dan Pengetahuan akan Allah. Makalah ini berusaha menunjukkan bukti akan adanya “sesuatu” itu. Bagaimana Allah yang transenden itu dapat diterima oleh manusia? Bagaimana caranya agar manusia percaya bahwa Allah adalah penyebag segala sesuatu?
2. Bibliografi Singkat Thomas Aquinas
Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino (1224-1274 M) lahir di Rocca Sicca, dekat Napels, Italia dari suatu keluarga bangsawan. Ia menempu pendidikannya di Napels, kemudian di Paris dan menjadi murid Albertus Agung. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia. Aquinas seorang teolog Katolik dan filsuf. Ia menerima gelar Doktor dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun 1259. Kemudian selama 10 tahun ia mengajar di biara-biara Dominican di sekitar Roma kemudian kembali ke Paris, mengajar dan menulis. Ia mempelajari karya-karya besar Aristoteles secara mendalam dan ikut serta dalam pelbagai perdebatan. Thomas Aquinas berusaha mempersatukan secara orisinal unsure-unsur pemikiran Agustinus dengan filsafat Aristoteles.
Para ahli sejarah filsafat sepakat mengatakan bahwa filsafat Abad Pertengahan memuncak pada Thomas. Thomas mendasarkan filsafatnya pada prinsip-prinsip Aristotelisme. Untuk memahami tulisan Aristoteles dalam bahasa Yunani, Thomas merasa sangat terbantu dengan tulisan-tulisan dari Ibn Rusyd dan Ibn Sina. Sehingga dia mampu menerjemahkan kedalam Bahasa Latin. Paus Leo XII menyatakan bahwa Thomas Aquinas merupakan dasar bagi filsafat dan teologi Kristiani. Oleh karena itu, filsafat Thomas Aquinas menjadi pelajaran wajib di semua sekolah filsafat dan teologi Katolik.
3. Pemikiran tentang Manusia
Menurut Thomas Aquinas manusia adalah suatu kesatuan yang berdiri sendiri, yang terdiri dari bentu/aktus (jiwa) dan materi/potensi (badan). Oleh karena itu, pertautan antara tubuh dan jiwa menunjukkan bahwa jiwa bukanlah suatu yang berdiri sendiri sebagaimana yang diajarkan oleh Plato. Terhadap tubuh, jiwa adalah bentuk/aktus yang memberi gerak dan daya yang menghidupkan tubuh. Berkat jiwa badan menjadi realitas yang hidup.
Thomas Aquinas berusaha menyempurnakan ajaran Aristoteles tentang manusia. Thomas Aquinas sangat menekankan kesatuan manusia. Menurut Thomas Aquinas manusia hanya memiliki satu substansi saja. Menurut Thomas Aquinas jiwa menjalankan aktivitas-aktivitas yang melebihi yang badani belaka, yaitu berpikir dan berkehendak. Aktivitas-aktivitas rohani ini menunjukkan bahwa jiwa sendiri harus bersifat rohani pula. Dari kenyataan ini Thomas Aquinas mengungkapkan dua konsekuensi. Pertama, jiwa manusia bersifat abadi. Jiwa yang bersifat rohani tinggal tetap tetapi badan bersifat sementara dan akan hanncur bersama kematian. Kedua, jiwa sebagai bentuk selalu terarah kepada badan dan materi. Hal ini sesuai dengan pandangan Kristiani tentang kebangkitan badan.
Ajaran tentang hubungan jiwa dengan badan juga mempengaruhi pandangan Thomas Aquinas tentang pengenalan dan pengetahuan manusia. Menurut Thomas Aquinas, pengetahuan manusia dibagi menjadi dua tingkat. Pertama, pengetahuna tingkat Indrawi yang diperoleh melalui pengindraan. Indra menangkap realitas dan memberikan gambaran-gambaran. Kedua, pengetahuan akal. Pengetahuan ini diibaratkan seperti sehelai kertas kosong yang siap diisi oleh objek-objek yang ditangkap oleh indra. Oleh karena itu isi seluruhnya tergantung dari indra. Pengenalan ini berpangkal pada pengalaman. Gambaran yang diberikan oleh indra secara potensial memiliki hakikat kebendaan. Dengan demikian akal mengabstraksikan apa yang diserap oleh indra dan mengubahnya menjadi suatu yang konkrit dan partikural. Denagan abstraksi manusia akan sampai pada pengertian umum tentang sesuatu.
4. Pengenalan akan Allah
Thomas Aquina mengakui kemampuan manusia untuk mengenal adanya Allah. Menurut Thomas Aquinas Allah tidak dapat dikenali secara langsung tetapi hanya dapat dikenal melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Dalam Summa Theologiae Thomas Aquinas memberi lima bukti adanya Allah yang disebunya sebagai “lima jalan” (quinque viae). Bukti ini bertitik tolak pada dunia jasmani untuk mencari penyebab perubahan samapai pada yang tak terhingga. Dari penyebab-penyebab yang ada kita akan menemukan penyebab pertama yang akhirnya kita sebut Allah sebagai penggerak yang tidak digerakan (unmover mover).
Jalan pertama sampai jalan ketiga disebut sebagai argumen kosmologis. Hal ini bertolak dari satu aspek dunia ini (kosmos).
1) Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada Penggerak Pertama, yaitu Allah. Menurut Thomas, apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Seandainya sesuatu yang digerakkan itu menggerakkan dirinya sendiri, maka yang menggerakkan diri sendiri itu harus juga digerakkan oleh sesuatu yang lain, sedang yang menggerakkan ini juga harus digerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak Pertama ini adalah Allah.
2) Di dalam dunia yang diamati ini terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdayaguna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena sekiranya ada, hal yang menghasilkan dirinya itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin, sebab yang berdaya guna, yang menghasilkan sesuatu yang lain itu, juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sebab berdayaguna yang pertama, inilah Allah.
3) Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”. Oleh karena itu semuanya itu tidak berada sendiri, tetapi diadakan, dan oleh karena itu semuanya itu juga dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau semuanya itu “tidak ada”. Tentu tidak mungkin semuanya itu senantiasa “ada”. Sebab apa yang mungkin “tidak ada” pada suatu waktu memang tidak ada. Karena segala sesuatu memang mungkin “tidak ada”, maka pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu. Jikalau pengandaian ini benar, maka sekarang juga mungkin tidak ada sesuatu. Padahal apa yang tidak ada hanya dapat dimulai berada jikalau diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jikalau segala sesuatu hanya mewujudkan kemungkinan saja, tentu harus ada sesuatu yang “adanya” mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan, “adanya” itu dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau berada sendiri. Seandainya sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mungkin ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Allah.
Jalan keempat disebut sebagai argumen ontologis karena bertolak dari yang ada.
4). Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar, dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik, atau lebih baik, itu tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi, jikalau ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik. Demikian juga halnya dengan yang kurang benar, yang benar dan yang lebih benar dan lain sebagainya. Dari ini semua dapat disimpulkan, bahwa harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia, dan sebagainya. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah.
Jalan kelima disebut argument teleologis karena bertolak dari aturan alam semesta dan tujuan dari aturan itu (telos). Kelima jalan tersebut saling melenggkapi dalam membuktikan adanya Allah. 5). Segala sesuatu yang tidak berakal, misalnya: tubuh alamiah, berbuat menuju kepada tujuannya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal tadi berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik. Dari situ terlihat bahwa perbuatan tubuh bukanlah perbuatan kebetulan, semuanya diatur oleh suatu kekuatan, semuanya itu menuju pada “akhir”. Jika tidak diarahkan oleh suatu “tokoh yang berakal”, maka semua perbuatan tubuh tidak mungkin memperoleh ilmu pengetahuan. Kekuatan yang mengarahkan itu adalah Allah.
Bukti-bukti di atas memang dapat menunjukkan bahwa ada pencipta yang menyebabkan adanya segala sesuatu. Pencipta yang berada karena diri-Nya sendiri. Akan tetapi semuanya itu tidak dapat secara riil dapat membuktikan kepada kita mengenai hakekat Allah. Melalui bukti-bukti penciptaan-Nya kita mengetahui, bahwa Allah itu ada. Bukti-bukti yang dikemukakan Thomas didasarkan atas premis yang sama. Argumen kosmologi sering juga dinamakan argumen sebab pertama. Ia adalah suatu argumen deduktif yang mengatakan bahwa apa saja yang terjadi mesti mempunyai sebab, dan sebab itu juga mempunyai sebab dan seterusnya. Rangkaian sebab-sebab mungkin tanpa ujung atau mempunyai titik permulaan dalam sebabnya yang pertama. Aquinas mengeluarkan kemungkinan adanya rangkaian sebab pertama yang kita namakan Tuhan. Bagi Thomas, argumen kosmologi tentang eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang penting. Menurutnya, sebagai makhluk yang berakal, kita harus membedakan antara ciri-ciri yang aksidental dan ciri-ciri yang esensial tentang realitas, atau antara objek-objek yang bersifat sementara dan objek-objek yang bersifat permanen. Tiap-tiap kejadian antara perubahan memerlukan suatu sebab, dan menurut logika, kita harus kembali ke belakang, kepada sebab yang berada sendiri, tanpa sebab atau kepada Tuhan yang berdiri sendiri. Oleh sebab itu, Tuhan bersifat imanen dalam alam, ia prinsip pembentuk alam. Tuhan adalah syarat bagi perkembangan alam yang teratur serta sumber dan dasarnya yang permanen.
5. Tanggapan
Pada manusia, materi merupakan prinsip yang tidak merdeka, yang seluruhnya tergantung pada jiwa sebagai pasangannya. Badan memperoleh sifat sebagai badan hanya dari kenyataan bahwa ia dihidupkan oleh jiwa. Benar bahwa jiwa merupakan bentuk substansial, tetapi ia juga lebih dari pada itu. Ia juga ada roh. Ia adalah roh yang melakukan segala aktivitas bentuk substasial. Dari segi ini seraca intrinsic ia tergantung pada materi. Akan tetapi, sebagai roh, ia memiliki kemampuan-kemampuan lain yakni, inteligensai, kehendak, yang menunjukan ketidaktergantungannya pada materi.
Badan adalah hasil pertama dari persatuan antara jiwa dan materi pertama. Secara esensial manusia berbeda dari makhluk ciptaan lainnya. Manusia berakal yang bisa menyadari dirinya sendiri dan realitas yang sedang dialaminya. Pengenalan dan pengetahuan manusia memiliki sifat indrawi sekaligus intelektif. Manusia tidak bertindak dan melihat sesuatu dengan “kekosongan” tetapi dengan pemahaman. Akal budi memiliki daya rohani yang terbuka pada setiap hal yang menyangkut hidup.
6. Penutup
Setelah memahami pemikiran Thomas Aquinas, penulis berpendapat bahwa Thomas Aquinas berhasil mensistesiskan pemikiran Agustinus dan Aristoteles. Ia berhasil memadukan unsur logika dan transendensi Allah. Dengan ajarannya tentang akal budi dan pengetahuan akan Allah, Thomas mengajak kita untuk menggunakan akal budi untuk mengetahui kenyataan yang transenden tentang Allah dan hidup setelah kematian. Keterarahan pada Allah dan pemahaman manusia tentang Allah harus sejalan dengan apa yang kita imani. Dengan demikian, Thomas Aquinas sesungguhnya menekankan dua hal yakni iman dan akal budi.
Daftar Acuan
Bertens, K. 1988, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Hadiwijono, Harun, 1989, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, cet. Ke-5,Yogyakarta: Kanisius.
Smith, Titus, Nolan, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang.
Suherman, F.X. 1995, Skripsi:Pembuktian Adanya Allah Menurut Thomas Aquinas, Sekolah Tinggi Filsafat Dryarkara: Jakarta.
Sutrisno, Mudji dan Hardiman F. Budi (ed.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, cet. ke-2, Yogyakarta: Kanisius
Comments