TRANSFORMASI DI TENGAH PENDERITAAN

Penderitaan memang
sulit didefinisikan. Yang pasti adalah bahwa penderitaan dialami oleh makhluk
hidup yang dapat merasa sakit, baik secara fisik maupun mental. Penderitaan
adalah rasa sakit yang dialami manusia sebagai akibat dari suatu yang
merugikan. Penderitaan dapat disebabkan oleh barbagai masalah yang lebih
kompleks seperti, ketakutan, kepanikan, kesedihan, direndahkan, rasa malu,
keputusasaan, ketiadaan pegangan hidup, penghinaan moral, kesalahan, dan
ketakutan akan kematian.[2]
Dalam mengahadapi penderitaan
kita sering mempersalahkan orang lain, sistem sosial, bahkan kita
mempertanyakan Allah. Sikap protes berhadapan dengan penderitaan menunjukkan
bahwa kita belum menghayati hidup kita sendiri. Hidup mendapat makna dalam
penghayatan akan hidup itu sendiri. Makna hidup juga tidak tergantung pada
kegagalan dan keberhasilan yang diraih dalam kehidupan ini. Dalam realitas
penderitaan juga hidup memiliki makna. Yang ditekankan adalah bahwa manusia
harus percaya dan menerima hidupnya.[3]
Berhadapan dengan realitas
penderitaan tersebut, Michael Stoeber[4]
menawarkan suatu pemahaman yang berbeda atas penderitaan. Menurut Stoeber pangalaman
penderitaan kadang membantu perkembangan pribadi seseorang tetapi ada orang
yang merasa hidupnya hancur karena pangalaman penderitaan. Stoeber berusaha
membedakan dua realitas penderitaan, yakni penderitaan sebagai suatu yang
transformatif dan penderitaan yang menghancurkan.
Pertama,
dalam realitas penderitaan yang menghancurkan ditunjukkan bahwa banyak orang,
terutama anak-anak tidak mampu bertransformasi atau mendapatkan kepenuhan diri
dalam penderitaan. Penderitaan dinilai secara negatif dan tidak menyelamatkan.
Michael Stoeber menjelaskan bahwa sikap negatif tersebut terarah pada sikap apatis, masokis dan sadis. Menurut
Stoeber sikap ini menunjukkan suatu ketertutupan diri yang mengambil jarak
dengan Allah dan sesama. Dalam penderitaan yang menghancurkan banyak orang
marah, dendam, mempertanyakan dan menuduh Allah.


[1]
Aloysisus Budyapranata, 2012, Menghayati
Misteri Kehadiran Tuhan dalam Sakramen-Sakramen, Yogyakarta: Yayasan Pusaka
Nusatama. hlm. 9.
[2]
Paul Budi Kleden, 2006, Membongkar
Derita, Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi, Maumere:
Ledalero. hlm, 18-19.
[4]
Michael F. Stoeber lahir di Calgary. Dia menerima gelar BA dalam filsafat
(1980) dan MA dalam studi agama (1986) dari University of Calgary, Alberta
serta Sertifikasi Mengajar Tetap (1983). Setelah studi di McMaster dan
Universitas Toronto, ia menerima gelar PhD dalam filsafat agama melalui Pusat
untuk Studi Agama di Universitas Toronto (1990) dan Fellowship Post-Doktor
SSHRCC (1990-1992). Michael F. Stoeber adalah Associate Professor Spiritualitas
di Regis College, Toronto School of Theology, Universitas Toronto, Kanada. http://www.regiscollege.ca/faculty/michael_stoeber
diunduh 19 Februari 2013, pukul 17.00.
[5]
Hidup Yesus menunjukkan dengan jelas
bahwa hidup rohani tidak mengenal jalan pitas. Kita harus memanggul
salib dan mengikuti Dia. Yesus memanggil kita untuk ke luar dari keadaan kita
yang hancur dan penuh dosa dan membangun hidup yang menjanjikan hal-hal besar
yang disediakan bagi kita. Bdk. Henri J.M Nouwen, 1985, Menggapai Kematangan Hidup Rohani, Yogyakarta: Kanisius. hlm.15-16.
Comments