TRANSFORMASI DI TENGAH PENDERITAAN



Realitas kejahatan dan penderitaan yang terjadi saat ini merupakan masalah yang dihadapi oleh sekian banyak orang. Penderitaan membawa orang pada pertanyaan tentang makna hidup, penderitaan, dan juga kehadiran Allah. Banyak orang menjadi putus asa, bersikap apatis atau frustasi karena melihat kenyataan hidup yang penuh dengan gejolak, krisis, bencana alam, dan kemiskinan. Banyak orang menjadi ragu-ragu dan cemas akan masa depan mereka, karena agama tidak memberikan solusi. Banyak orang berpandangan bahwa agama tidak lagi menjadi pegangan yang mampu mengubah keadaan. Situasi apatis dan  putus asa menunjukkan bahwa orang kehilangan kepercayaan akan masa depan. Dalam situasi tersebut orang mudah melampiaskan kemarahan dengan berbagai tindakan yang merugikan.[1]

Penderitaan memang sulit didefinisikan. Yang pasti adalah bahwa penderitaan dialami oleh makhluk hidup yang dapat merasa sakit, baik secara fisik maupun mental. Penderitaan adalah rasa sakit yang dialami manusia sebagai akibat dari suatu yang merugikan. Penderitaan dapat disebabkan oleh barbagai masalah yang lebih kompleks seperti, ketakutan, kepanikan, kesedihan, direndahkan, rasa malu, keputusasaan, ketiadaan pegangan hidup, penghinaan moral, kesalahan, dan ketakutan akan kematian.[2]
Dalam mengahadapi penderitaan kita sering mempersalahkan orang lain, sistem sosial, bahkan kita mempertanyakan Allah. Sikap protes berhadapan dengan penderitaan menunjukkan bahwa kita belum menghayati hidup kita sendiri. Hidup mendapat makna dalam penghayatan akan hidup itu sendiri. Makna hidup juga tidak tergantung pada kegagalan dan keberhasilan yang diraih dalam kehidupan ini. Dalam realitas penderitaan juga hidup memiliki makna. Yang ditekankan adalah bahwa manusia harus percaya dan menerima hidupnya.[3]
Berhadapan dengan realitas penderitaan tersebut, Michael Stoeber[4] menawarkan suatu pemahaman yang berbeda atas penderitaan. Menurut Stoeber pangalaman penderitaan kadang membantu perkembangan pribadi seseorang tetapi ada orang yang merasa hidupnya hancur karena pangalaman penderitaan. Stoeber berusaha membedakan dua realitas penderitaan, yakni penderitaan sebagai suatu yang transformatif dan penderitaan yang menghancurkan.
Pertama, dalam realitas penderitaan yang menghancurkan ditunjukkan bahwa banyak orang, terutama anak-anak tidak mampu bertransformasi atau mendapatkan kepenuhan diri dalam penderitaan. Penderitaan dinilai secara negatif dan tidak menyelamatkan. Michael Stoeber menjelaskan bahwa sikap negatif tersebut terarah pada sikap apatis, masokis dan sadis. Menurut Stoeber sikap ini menunjukkan suatu ketertutupan diri yang mengambil jarak dengan Allah dan sesama. Dalam penderitaan yang menghancurkan banyak orang marah, dendam, mempertanyakan dan menuduh Allah.
Kedua, realitas penderitaan sebagai suatu yang positif dan transformatif. Dalam penderitaan yang transformatif ditunjukkan bahwa seseorang dapat belajar dan bertumbuh dalam penderitaan. Dalam penderitaan seseorang diarahkan untuk mencapai hubungan yang intim dengan Allah, sesama, dan ciptaan lain. Stoeber melihat penderitaan yang transformatif dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang korban yang mengalami penderitaan. Menurut Stoeber, seseorang yang mengalami penderitaan harus terbuka berhadapan dengan pengalaman penderitaannya. “Sikap terbuka”memungkinkan orang lain untuk masuk dan mengenal keadaan kita. Kedua, dari sudut pandang orang yang saksi (witness) penderitaan orang lain. Sikap yang tepat dalam menanggapi penderitaaan orang lain adalah empati dan belas kasih. Menurut Stoeber empati merupakan kemampuan untuk menjangkau dan berhubungan dengan dengan orang lain secara intim. Stoeber menyebut sikap empati yang didasarkan atas cinta sebagai tindakan kasih dimana orang mau berbagi, saling mendukung, dan menerima satu dengan yang lain. Sikap terbuka, empati, dan belas kasih membantu pertumbuhan spiritual spiritual dan mengatasi orientasi dirinya yang tertutup.
Michael Stoeber berusaha membedakan penderitaan—penderitaan yang menghancurkan dan penderitaan yang transformatif. Michael Stoeber mengembangkan tema penderitaan yang transformatif dan menunjukkan bahwa penderitaan memiliki pengaruh positif bagi orang-orang yang berjuang di dalamnya. Michael Stoeber menekankan pentingnya sikap belas kasih sesama manusia dan belas kasih Ilahi dalam menanggapi penderitaan yang menghancurkan. Michael Stoeber menggambarkan Allah yang berbelas kasih sebagai spiritualitas tentang Allah yang menyembuhkan dan memberi hidup. Michael Stoeber menempatkan peristiwa Yesus Kristus sebagai puncak dalam memaknai penderitaan dan pertumbuhan spiritual.[5] Michael Stoeber mengusulkan konteks hidup setelah kematian sebagai kemungkinan yang sesuai dengan pandangan religius yang menekankan belas kasih, penyembuhan dan pertumbuhan rohani.



[1] Aloysisus Budyapranata, 2012, Menghayati Misteri Kehadiran Tuhan dalam Sakramen-Sakramen, Yogyakarta: Yayasan Pusaka Nusatama. hlm. 9.
[2] Paul Budi Kleden, 2006, Membongkar Derita, Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat dan Teologi, Maumere: Ledalero.  hlm, 18-19.

[3] KWI, 1996, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 2-3. 
[4] Michael F. Stoeber lahir di Calgary. Dia menerima gelar BA dalam filsafat (1980) dan MA dalam studi agama (1986) dari University of Calgary, Alberta serta Sertifikasi Mengajar Tetap (1983). Setelah studi di McMaster dan Universitas Toronto, ia menerima gelar PhD dalam filsafat agama melalui Pusat untuk Studi Agama di Universitas Toronto (1990) dan Fellowship Post-Doktor SSHRCC (1990-1992). Michael F. Stoeber adalah Associate Professor Spiritualitas di Regis College, Toronto School of Theology, Universitas Toronto, Kanada. http://www.regiscollege.ca/faculty/michael_stoeber diunduh 19 Februari 2013, pukul 17.00.
[5] Hidup Yesus menunjukkan dengan jelas  bahwa hidup rohani tidak mengenal jalan pitas. Kita harus memanggul salib dan mengikuti Dia. Yesus memanggil kita untuk ke luar dari keadaan kita yang hancur dan penuh dosa dan membangun hidup yang menjanjikan hal-hal besar yang disediakan bagi kita. Bdk. Henri J.M Nouwen, 1985, Menggapai Kematangan Hidup Rohani, Yogyakarta: Kanisius. hlm.15-16.

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK