PROSESI BAHARI: SEMANA SANTA ( Liturgi, Devosi, atau Wisata?)
Mater Dolorosa |
Liturgi berarti doa bersama. Dengan doa bersama, seharusnya
terbentuk komunitas doa. Seharusnya komunitas liturgi tidak terbatas pada waktu
perayaan. Seharusnya perayaan liturgi mempertemukan orang sebagai saudara
seiman.[1]
Lirurgi adalah perayaan iman gereja akan misteri penyelamatan Allah yang
terlaksana dalam Yesus Kristus. Dalam liturgi terjadi perjumpaan antara Allah
dengan manusia melalui Yesus Kristus dalam ikatan Roh Kudus.
Berdasarkan pemahaman di atas maka Prosesi Bahari dapat kita
asumsikan sebagai sebuah bentuk liturgi di mana masyarakat setempat membentuk
sebuah komunitas doa. Mereka tidak membatasi dirinya pada waktu perayaan saja.
Dalam prosesi ini, mereka sebagai umat Allah mengalami suatu perjumpaan dengan
Allah yang sungguh mereka yakini hadir melalui Yesus Kristus yang mereka arak
sepanjang perjalanan bahari itu.
Di samping itu devosi sendiri berarti dedikasi pribadi Kristen
kepada seorang kudus atau kepada sala satu aspek dari kehidupan Kristus, yang
merupakan suatu sumber inspirasi khusus bagi orang tersebut. Bagi orang tadi,
orang kudus tertentu atau Bunda Maria atau aspek tertentu kehidupan Kristus,
mempunyai daya tarik khusus kepadanya. Ia merasa tertolong dan diteguhkan dalam
perjalanan hidupnya. Sikap inilah yang melahirkan praktek-praktek religius
tertentu yang menekankan peranan seorang kudus atau misteri ilahi tertentu
dalam hidupnya[2].
"Lilin harapan" |
Setelah mendalami makna dari Liturgi dan Devosi seperti yang telah
dipaparkan di atas maka Prosesi Bahari yang setiap tahun dilakukan oleh orang
Larantuka lebih tepat jika kita golongkan sebagai sebuah bentuk Devosi
ketimbang Liturgi. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat juga unsur-unsur
Liturgi dalam prosesi ini tetapi tidak dapat dengan mutlak kita golongkan dalam
sebuah bentuk perayaan Liturgi. Ini diperkuat dengan apa yang dtuliskan dalam
Konsili Vatikan II yang memberikan pandangannya yang cukup seimbang. “Hidup
rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam Liturgi. Sebab
manusia Kristiani, yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, toh harus
memasuki biliknya juga untuk berdoa bersama Bapa di tempat yang tersembunyi”
(SC. No. 13). Dikatakan juga bahwa “ulah kesalehan, umat Kristiani, asal saja
sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma gereja, sangat dianjurkan, terutama
atas penetapan tahta Apostolik” (SC. No. 128)
INKULTURASI DALAM PROSESI BAHARI
Wujud inkulturasi dapat terlihat dari tata cara peribadatan yang
dilakukan pada saat terjadinya prosesi itu. Kita akan semakin memahami nilai
inkulturasi dalam Prosesi ini jika mencoba sedikit lebih dalam menggali sejarah
masuknya agama Katolik ke dalam masyarakat setempat.
Peziarah Semana Santa |
Sarana-prasarana yang dipakai seperti sampan sudah menunjukan bahwa
Agama Katolik yang hadir berpadu dengan budaya kehidupan masyarakat setempat
yang pada umumnya dulu bermata pencaharian sebagai nelayan. Selain itu, ada
tradisi dalam masyarakat setempat mengenai siapa-siapa yang berhak menjaga
Kapela, tempat arca Yesus ditahtakan serta keturunan-keturunan mana yang
mempunyai hak menjunjung atau membawa Arca Yesus keluar dari Kapela menuju ke
sampan utama serta mengembalikannya ke tempat semula. Tradisi ini berawal dari
tradisi-tradisi kepala suku dan penjaga-penjaga rumah adat tempat di mana
diletakan Korke, batu berhala pada
zaman dulu, yang disembah masyarakat setempat sebelum mengenal agama Katolik.
Setelah mereka mengenal agama Katolik yang dibawa oleh misionaris Eropa,
tradisi-trsdisi ini tidak serta merta hilang begitu saja melainkan tetap
dipertahankan dan dikembangkan dalam nunansa kekristenan.
CATATAN KRITIS ATAS PROSESI BAHARI
Benar jika
dikatakan bahwa akhir-akhir ini Prosesi Bahari di Larantuka yang termasuk dalam
lingkaran Prosesi Semana Santa pada hari Jumat Agung telah terjebak dalam
pariwisata. Kenyataan memang berbicara seperti itu tetapi adalah sebuah
kesalahan besar jika orang mengatakan bahwa Prosesi Bahari adalah sebuah obyek
pariwisata yang dapat dikunjumgi pada setiap tahunnya, tepatnya pada saat hari
Jumat Agung. Perlu diketahui bahwa iman masyarakat setempat tetap kuat dan
percaya bahwa Prosesi Bahari mempunyai arti tersendiri bagi mereka, di mana
mereka benar-benar merasakan pengalaman perjumpaan dengan Allah.
Lilin cinta |
Dapat kita samakan dengan Vatikan dan Basilikanya. Banyak orang
berbondomg-bondong datang ke sana dengan berbagai maksud dan tujuannya
sendiri-sendiri. Ada yang sunguh-sungguh ingin berdoa dan ada yang datang untuk
berwisata. Masyarakat setempat pun demikian. Ada yang tetap bertahan dalam iman
kepercayaan mereka tetapi ada yang mulai terseret arus zaman sehingga
memanfaatka kepopuleran tempat mereka untuk mengais satu dua rejeki.
Begitu pula dengan apa yang terjadi di Larantuka. Sekarang tinggal
bagaimana saja Gereja Lokal setempat berperan aktif mengembalikan nilai-nilai
religius yang perlahan-lahan terkikis arus zaman ini. Begitu pula dengan
pribadi-pribadi, entah masyarakat setempat atau para peziarah yang datang dari
luar yang harus semakin menyadari nilai-nilai luhur nan mulia yang terkandung
dalam Prossi Bahari ini. Apakah benar, Prosesi Bahasi, Semana Santa lebih menonjolkan sisi wisata? Dilihat dari kunjungan
yang begitu banyak, Prosesi Bahasi, Semana
Santa bisa disebutkan sebagai suatu wisata. Namun, jika kita melihat lebih
dalam tentang aktivitas para pengunjung yang berdoa bersama, maka akan
ditemukan bahwa Prosesi Bahasi, Semana
Santa, adalah wisata rohani atau ziarah batin umat Kristiani.
DAFTAR ISI
Jacobs, Tom, 2004, Teologi Doa,
Yogyakarta : Kanisisus.
Suban Tukan, Johanes. 2001, Prosesi
Bahari Tuan Ma dan Tuan Ana : mempertimbangkan tradisi katolik di Larantuka,
Konga, Wureh , Jakarta: YPPM
[1] Tom Jacobs, SJ, Teologi Doa,
Yogyakarta : Kanisius, 2004, hal. 85.
[2] Yohanes Indrakusuma O. Carm, Kehidupan
Devosional, dalam Johan Suban Tukan,
2001, Tradisi Semana Santa di
Larantuka, Jakarta: Yayasan Putra-putri Rhenyarosari.
Comments