10 Monotype Corsiva

Clear book berusia enam tahun tergeletak di antara sekian banyak buku dan file di lemari. Ukurannya yang lumayan besar membuat ia paling menonjol dari sekian buku. Apalagi warna covernya yang menyala hijau. Clear book itu melitasi pulau bahkan batas negara mengikuti jejak pemiliknya. Kisah perpindahan clear book itu sudah menyejarah bersama Will sejak pertama kali membelinya di store kecil di Daya-Makassar.
Di Jakarta clear book itu berpindah dari kamar yang satu ke kamar yang lain. Di Jakarta ia menghuni kamar nomor 17 menuju 28 lalu menuju kamar 16 lalu kamar nomor 32 dan kamar nomor 35 lalu berakhir di kamar nomor 1. Clear book itu, salah satu tempat ia menyimpan pangalaman-pangalannya. Will tidak ingat persis berapa kali ia membuka isi clear book itu apalagi ia tidak pernah menghitungnya. Banyak kali katanya, setelah mengira-ngira dalam hatinya. Namun ia ingat bahwa setiap kali perpindahan ia membaca file-file yang terselip di dalam clear book itu, membacanya sesekali dan membersikan debuh yang melekat di setiap lembarnya. Clear book itu kian berat seiring berjalannya waktu dan tambahan catatan perjalanan yang disisipnya dan sketsa-sketsa yang dibuatnya. Setelah menyelesaikan pendidikan ia membawa pulang clear book itu lengkap dengan file-file yang ia kumpulkan selama empat tahun ke kampung halamannya.
Will masih menyempatkan dirinya membuat catatan harian dan sketsa di masa liburannya. Setelah menyelsaikan beberapa sketsa, Will menyimpan clear book itu di atas tempat tidurnnya lalu meninggalkan kamar. Udara di daerah kaki pegunungan tak menentu, hujan datang kadang tanpa tanda. Saudari bungsunya terburu-buru mengangkat jemuran milik Will yang ada di luar lalu membawa masuk pakaian menuju kamar. Anita ingin memindahkan clear book ke lemari. Pada saat itu beberapa file terjatuh. Ia membuka clear book untuk menyimpan file itu kembali. Di halaman-halaman depan Will menyimpan surat-surat yang pernah ia terima dari teman-teman wanitanya. Anita terkejut dengan hal itu. Dalam benaknya ia berpikir bahwa sang kakak menjalin hubungan gelap dengan wanita-wanita. Ia segera memanggil ibunnya untuk melihat koleksi surat itu. Ansel lelaki bungsu di keluarga lebih tertarik dengan gambar-gambar buatan Will. Mendengar langkah kaki dan suara Will yang melangkah sambil bernyanyi, keduanya keluar dari kamar.
Suara sang ibu memanggil mereka dari dalam ruang tamu. Keduanya memberitahukan hal itu kepada sang ayah. Sang ayah meminta Anita mengambil clear book tersebut. Sang ibu merepat ke meja kecil di tengah ruangan di mana mereka membolak-balik isi clear book itu. Sang ibu hanya mengeleng dan tersenyum membaca surat-surat itu.
“Ada apa mama?”, mereka bertanya kepada sang ibu.
“Surat-surat ini saya sudah baca beberapa kali sejak Will masih SMA. Itu surat-surat lama.” Sang ibu menjawab mereka.
“Kenapa surat-surat ini dia simpan?”
“Mereka punya janji untuk menyimpannya”
“Tapi, untuk apa mama?”
“Hanya pangalaman itu yang dia punya sebagai kenangan dan itu cara dia menghargai pangalamannya”, kata sang ibu coba menjelaskan.
“Kakakmu suka koleksi karena surat yang beginian sudah jarang bahkan tidak dibuat oleh generasi sekarang lagi”, sang ayah memberi pemahaman.
            Anita masih membuka halaman demi halaman clear book tersebut. Di bagian tengah Anita kembali terhenti oleh satu file dengan tulisan tangan bersambung yang tak asing baginya.
Ma, ini tulisan mama bukan?” tanya Anita sambil memperlihatkan tulisan itu. Sang ibu mendekat lalu mencoba mengingat surat dengan tulisan tangannya itu. Ia mengeluarkan file surat itu dan membacanya. Surat itu ditulis 11 tahun silam untuk Will yang saat menjalani pendidikan di kota lain.
“Nona, surat ini sudah lama sekali, mama menuli surat ini untuk kakakmu sebelum kamu lahir dan Ansel masih kecil”. Sang ibu membaca kembali surat itu dengan perlahan semabari meresapi kata-kata yang ditulisnya.
            Semakin ke belakang mereka menumukan hal-hal unik yang sersisip rapi oleh Will. Catatan perjalanan pertama meninggalkan rumah menuju Makassar. Pangalaman di bandara itu ia tulis di balik kertas kemasan rokok Dji-Sam-Soe dan pangalaman menumpangi pesawat menuju Kupang di tulis di balik envelope tiket. Mereka bingung dan heran dengan apa yang mereka lihat. Di anatara sekian surat tulisan tangan ada sebuah surat yang diketik dengan monotype corsiva 10 dengan sepuluh halaman tertera Kupang, 20 November 2008.  Sang ibu langsung teringat akan salah seorang sahabat Will. Sang ibu memanggil Will untuk menanyakan keadaan temannya.
Dua minggu yang lalu ketika Will mengemas barang-barangnya, ia membuka file-file tua yang ada di dalam clear book-nya. Ia tersandra akan file surat tertanggal 20 November 2008. Ia menerima surat itu di Makassar, 23 November 2008 di hari ulang tahunnya yang ke-20. Pada sudut kanan bawah tertulis; untuk sahabatku lalu nama jelas penerima dan di sudut kiri atas nama pengirim, Ronald. Dalam surat itu Ronald menceritakan pangalam perjalanannya dan alasan di balik keputusannya meninggalkan Will enam tahun silam.
“Bagaimana panggilanmu kawan?
Apakah kau masih mampu berjalan lebih jauh?”, tanya temannya.
“Saya merasa seperti baru memulai perjalanan. Saya rasa masih punya cukup semangat walau tidak tahu sampai dimana.”
“Saya senang kamu masih bertahan dan lebih senang lagi kalau sampai selesai. Lanjutkan teman!” Ronald meneguhkan sahabatnya.
Ada kabar tentang teman lain?
“Ya… Saya hanya tahu tentang Gabriel. Dia akan menyelesaikan masa internship-nya bulan July yang akan datang. Sebentar lagi ia akan dithabiskan.”
Suatu malam Ronald mengirim pesan lewat facebook kepada Will. Ia mengisahkan perjalanan hidupnya, pergulatan setelah menyelesaikan kuliahnya. Nadanya sedikit berkeluh dengan sedikit kebingungan akan pilihan yang telah dibuatnya beberapa tahun lalu.
“Jangan menyesal teman”, begitu Will ingin menguatkan temannya.
“Saya tidak menyesal teman. Saya lagi memikirkan apa yang saya harus lakukan selanjutnya, tapi pikiran saya buntu.”
“Tenangkan pikiranmu dulu, teman..”
            Cukup lama keduanya bercerita tentang pangalaman mereka baik saat sekarang maupun pangalaman kebersamaan beberapa tahun lalu. Will kemudian teringat akan surat yang pernah ia terima.
“Teman, masih ingatkah dengan suratmu?”, tanya Will kepada Ronald.
“Oh… saya masih ingat tapi detainya sudah lupa.”
“Saya juga tidak ingat; terlalu panjang. Itu surat pertama yang saya terima dari teman laki-laki.”
“Itu juga pangalaman pertama bagi saya untuk tuliskan surat buat teman laki-laki. Hahahaha…”
“Kirimkan saya foto surat itu”.
 “Saudara 10 halaman surat dengan monotype corsiva sudah jadi salah satu teman yang juga menguatkan  perjalanan panggilan saya.” Will membalas pesan tersebut dengan menyertakan 10 foto dari setiap halaman surat. Will kemudia meninggalkan Hp-nya di sisi tempat tidurnya dan membaca kembali 10 halaman monotype corsiva dengan 10 font.
“Sehelai kertas bisa memuat sekian kata;
menyimpan sebuah misteri;
bahkan mengubah takdir dalam guratan pena.
Bagaimana dengan 10 monotype corsiva? ”

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK