Mau dicabein, Nggak?





Terong dicabein, pisang dicabein, ikan dicabein, udang dicabein, unggas dicabein, segala yang ada di atas air dan di bawah air dicabein. Kalau asu dirica-rica ala Manado tapi tetap rasanya pedas.  
Leluhur kami petani suka pedas. Tak terhitung berapa generasi sampai ayahku. Ayah selalu bilang mereka pahlawan yang menang dalam perang tapi itu sejarah kelam. Kini tinggal kisah generasi baru ini adalah generasi perjanjian. Perjanjian untuk membawar nyawa korban perang dengan tanah. Perjanjian untuk tidak lagi ada perang yang memakan korban jiwa. Ya.. memang benar tak ada lagi perang dengan anak panah tapi perang yang memakan korban perasaan mungkin saja terjadi. Begitulah generasi baru itu masuk babak baru di tanah perjanjian. Ketika mendengar cerita itu aku seperti terbawa ke suasana kampung orang nasrani yang selalu dikotbai cerita-cerita tanah terjanjinya orang Israel.
Sampai orang tuaku pun petani.  Petani yang menanan apa saja yang bisa dipanen untuk makanan atau pun menghasikan uang. Kami tinggal di kampung yang tanahnya cukup subur, apa pun yang di tanam bisa tumbuh tapi perkara hasil itu masalah lain. Kami tinggal di kampung dengan adat yang ketat. Semangat kerja orang tua tak kunjung padam, apalagi kebutuhan makin besar ketika aku dan saudara-saudaraku tumbuh besar.  
“Bogo baru poko”[1], kata sang ayah mengingatkan kami akan pentingnya kerja. Bagi ibu yang cukup dekat dengan gereja mengutip sedikit teks Injil. 
                Di awal musim penghujanan orang tua menanam lombok. Saya pernah ikut dalam acara menanam tanam itu.  Kami menanam lombok separuh kebun.
“Mengapa hanya separuh kebun?” Pertanyaan itu saya ajukan kepada ibuku.
“Nanti kamu akan tahu Ema[2]” begitu singkat jawaban ibu. Saya selalu tinggu saat nanti yang selalu mereka janjikan itu.
Seminggu lombok selesai ditanam. Ayah dan ibu semakin sajin mengunjungi lombok yang mereka tempatkan harapan mereka. Harapan akan hujan yang cukup, harapan akan hama yang tak memakan habis daun-daun lombok, samapai pada harapan akan harga yang adil dari pembeli.
Natal akan segera tiba, daya beli masyarakat umumnya meningkat termasuk daya beli akan hasil pertanian.  Harga anjlok bagai patahnya dahan kering diterpa angin. Perhitungan petani seperti selalu meleset karna harga pasar didikte. Beberapa bulan menjelang Natal orang beramai-ramai menanam sayur-sayur yang sama. Harga  naik petani senang. Namun, harga yang melangit itu hanya sesaat sebelum pasar kebanjiran hasil pertanian. Pada saat jatuhnya memang membuat petani menjerit. Petani di kampung termasuk orang tuaku kembali di hadapkan pada teka-teki. Teka-tekinya begini, semakin banyak orang di kota butuh banyak lombok untuk sambal terasi harga lombok bisa naik. Semakin banyak petani yang memanen lombok di bulan ini maka harga lombok akan turun.
Kakak saya yang saat itu di bangku SMP begitu mudah menghubungkan hidup bertani dan hukum permintaan dan penawaran dalam pelajaran ekonominya di sekolah. Ayahku petani yang dibantu ibu yang dalam catatan sipil ditulis pengurus rumah tangga tetap saja bertani, tepatnya membantu ayah bertani. Petani bukanya tak tahu dengan hukum-hukum itu, tapi hukum itu telah menjadi hukum alam yang mereka paham sebagai musim. Di hadapan musim mereka tetap saja berteka-teki, di hadapan musim mereka tepat membawa iman mereka untuk berharap tak ada badai. Di titik terakhir dari di musim yang yang berganti ini kadang petani hanya pasrah. Pasrah pada harga pasar walau sedemikian rendah tapi terpaksa dijual sebelum hasil tani membusuk dan berbauh lapuk.  
****
“Kenapa tanam lombok harus setengah kebun? Kalau tidak habis terjual akan begini hasilnya. Semuanya ini akan hitam membusuk lalu terbuang. Kenapa tidak dijual murah saja?” tanya kakak perempuanku kepada ibu. 
“Ibu, rasa rugi menjual murah”.  
Kenapa rugi, bu? Kita masih punya banyak”.
“Karena ini jerih payah ayahmu. Kita akan buat menjadi sambal.
“Iya, bu tapi tak sebanyak ini”, jawab kakak saya.
“Bukankah setiap hari paman, opa, oma, semua orang di rumah ini mencari lombok saat makan? Kau ingatkan ketika pamanmu mencari lombok sampai ke rumah tetangga? Seluruh isi kampung kita ini suka lombok.  Lombok yang sisa ini bisa kita bagikan ke tetangga.”  
“Kenapa mereka suka sekali makan sambal pedas?”, tanya kakak.
Makan lombok pedas itu ada banyak alasan. Bisa jadi itu soal kebiasaan juga soal keterpaksaan. Kadang pedas itu soal rasa bahkan rasa pedas itu menjadi rasa dan standar lezat suatu masakan. Paman-pamanmu selalu beri alasan dengan analisa kesehatan. Katanya lombok itu baik untuk kesehatan karena mengandung anti-oksidan. Kalau opamu itu yatim piatu yang miskin jadi sering makan seadanya jadi lombok bisa jadi pendorong makanan.  Omamu punya cerita sendiri. Ketika dia pindah ke sini, ia mulai mencoba sambal sebagai pengusir dinginnya udara pegunungan di Moni ini.
****
“ Weee siapa itu?”, suara ibu membentak keras dari dalam rumah.
“Albert tanta, jawab seorang teman menyebut namaku. Aku ingin berlari tapi ibu sudah berada di dekatku. Di tangannya ada segenggam lombok. Aku mencoba menutup mulutku. Ibuku mendekat tangannya ke mulutku dan mengoles cabe itu ke mulutku seperti lipstick tanpaknya tapi rawit merah cukup menggigit hinggaku menggigil. Aku lalu mengangkat sumpah dengan dua jari terangkat meminta ampun. Begitulah perkenalan saya dengan rasa pedas yang akhirnya kami jadi teman dan mulai belajar bagaimana menikmati kedekatan saya denganrasa pedas yang berikannya. Aku juga belajar bagaimana membuat ia disukai teman yang melaporku kepada ibu. Saat ini kami bersahabat dekat  tanpa perlu mencaci kata kotor.
                Hasil pertanian di pasar Moni masih seperti biasanya, segar. Harga pasar belum membaik. Petani masih menanam untuk dijual di pasar. Orang masih membeli lombok untuk membuat sambal di desa dan di kota orang mebuat saos pedas. Setelah beberapa tahun  saya meninggalkan kampung. Kecintaan akan rasa pedas dari kampung, saya bawa sampai ke ibu kota. Ibu kota memang berbedah jauh. Tapi rasa pedis di kampung tetap lebih nikmat. Di ibu kota itu, saya bertemu beberapa teman. Yang satu peranakan Jawa-Timor. Ibu Jawa, jago masak dan ayahnya jago buat sambal. Ia pun punya bakat meracik sambal pedas. Teman yang lainnya dari Flores juga suka makanan pedas. Di ibu kota orang tidak mengenal lombok, yang mereka kenal adalah cabe.  
Suatu hari saya dengar cerita dari tetangga sebelah kamar. Seorang gadis belasan tahun dari Lombok. Ia bercerita dengan teman seusianya tentang maraknya cabe-cabean di ibu kota. Seorang teman memberikan penjelasan tentang cabe-cabean tapi belum saja selesai kami mendapat panggilan. Ada rasa ingin tahu tapi teman kami yang bergaul dengan lombok sejak di kampung kini di rumah sakit. Ia akan dioperasi.
Bagaimana mau dicabein ngak?, tanya seorang teman yang ingin membelikan makan malam.
Saya ngga dicabein ya...
“Kamu?



[1] Bogo baru poko” Kita harus kerja untuk mendapatkan makanan.  
[2] Ema merupakan sapaan untuk anak laki-laki dalam bahasa Lio. Ema berarti bapa. Sapaan ini biasanya dipakai untuk anak lelaki tertua yang diyakini sebagai representasi orang tua sebelumnya.

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

SUNGAI TERKUTUK

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)