REGINA
Semoga
kau hanya menarik mataku sesaat.
bukan
kakiku apalagi hatiku.
Salve Regina mater misserri cordie
Vita dulcedo et spes nostra salve
PUKUL 22:00 suara yang
menyayikan lagu itu kembali terdengar. Kadang syair itu hanya didaraskan tapi suaranya
tetap menyusup ke telinga dari kejauhan di lembah itu setiap malam. Kemarin
malam masih sama, dan semalam terakhir kalinya ia mendengar senandung Salve
Regina dari dalam kamarnya . Di rumahnya yang terletak di ujung kampung. Lagu
Salve regina mengiang dan suara ibunya memberi peringatan.
“Regina ayo berdoa dan tidur”.
Regina menunggu senandung lagu itu selesai dan
bertanya.
“Mama, lagu apa itu?
“Itu lagunya anak-anak Tuhan, yang mau jadi Pastor”.
“Kenapa selalu lagu itu?”
“Itu lagu terima kasih :(penyerahan).
Mereka harus terima kasih karena dapat berkat lebih. Dengan lagu itu mereka menutup hari.”
“Lagu apa itu? Mama
bisa nyanyi kah?”
“Salve Regina. Ia mama bisa, Itu lagu bagus seperti
namamu Regina.”
“Sekarang kamu tidur nanti mama ajarkan kamu menyanyi”
Sang ibu memang tahu banyak doa dan lagu karena keikutsertaanya dalam Legio
Mariae. Ini terjadi beberapa tahun lalu.
Suara
ibunya bukan yang paling merdu tapi dari situlah ia belajar bernyanyi. Malam
ini Regina merasa berada di anatara para calon pastor dan menyanyikan lagu Salve
regina. Setelah lagu itu selesai ia menikmati ketenangan yang membuatnya bermenung
lalu berhayal. Ia merasakan kembali kehadirarn ibunya, malam sebelum tidur
menyebutkan lagu dalam bahasa Latin yang diulangnya. Air matanya jatuh saat
diakhir lamunanya sang ibu benar sudah tiada. Ketiadaan yang membatalkan
cita-citanya. Ia menyimpan rasa bersalah mengabaikan kehendaknya demi rasa
kasihan pada ayah dan saudara-saudaranya. Ia merasa pengabidian itu lebih nyata
dan bermakna.
Terpujilah
Tuhan yang menciptakan Regina dan terpujilah ibu yang mengandungnya. Begitulah
komentar banyak orang ketika melihat gadis itu setiap kali menyempatkan diri
dalam kesibukan di gereja. Dia gadis yang hidupnya terjadwal baik, termasuk
jadwal kunjungan ke gereja, menyanyikan mazmur, dan ekaristi pagi. Ini jadwal
yang tak ia lupakan. Sungguh.
Pertemuan
pertama dengan Regina sederhana bahkan disakralakan dengan latar Gereja. Pertemuan lain terjadi dan makin
sering terjadi. Kebanyakan dalam situasi tak terduga tapi tak kurang pertemuan
itu sungguh terencana. Entalah tukang
rencana itu tergantung bisa jadi pihak gereja, Regina, bisa juga saya yang
berinisiatif. Ia memang beda dengan gadis-gadis lain dan itulah membuat saya
tertarik. Namun tak perjanjian untuk membuat kunjungan yang berakibat surprise bahkan serangan jantung ringan
bagi ayahnya atau Pastor. Mungkin kami belum ada ide tentang itu perasaan kami yang
belum diberi nama.
Suatu ketika kami lewati senja dengan
perbincangan panjang sampai mata kami beri tanda bahwa hari telah gelap. Senja
itu sepertinya kami akan mengatakan hal yang sama, tapi tak sempat karena
saling menunggu. Soal perasaan memang butuh waktu yang lama tuk mengakar. Tak
tahu dia, Regina dan perasaannya. Kami pun berpisah sebelum malam sembunyikan
kami.
Para calon
pastor yang telat wajib lapor tapi malam itu aku sengaja lupa akan laporan
untuk sang pastor. Nyali ingin tahu
pastor lebih besar dan panggilan daruratnya malam itu sengaja kuabaikan. Suara
Regina selalu mendominasi malam itu. Keesokan harinya, panggilan darurat
pertama atas namaku terdengar dari dalam kamar. Aku masuki kamar dan beri
cerita yang sudah kudesain sedemikian. Kemarin malam saya telat karena
pertemuan mendadak dengan kelompok anak muda di gereja tempat pelayanan hari
Mingguku. Sepotong cerita tentang Regina kusisipkan dalam-dalam. Tak ada yang
tahu.
Regina masih menarik perhatianku dan
mataku juga bisa menilai kalau ia juga mencuri pandang, bahkan mencari
perhatianku. Akhirnya akau paham kenapa ia mengambil jarak hingga aku merasa
bersalah. Kebingunganku mendapat jawaban ketika ia memangajakku bertemu hanya
untuk mengatkan bahwa ia tidak pernah ragu dengan perasaannya dan ia tak
terkejut dengan perasaannya. “Saya tidak berniat untuk mencuri engkau dari
Tuhan”, katanya kepadaku sembari membiarkan air matanya jatuh. Nampaknya
perasaan kami sama. Aku segera pamit dan mengajaknya pulang membaca cerita sore
itu.
Sore itu saya berani membawanya ke biara
dan berharap bisa memperkenalkan rekan Orang Muda Katolik. Di rumah para calon pastor itu perkenalan
adalah bagian dari laporan. Laporan soal tamu dan berbagi kenalan. Inilah berkat yang membuat para calon pastor
punya banyak teman yang kadang bikin berat. Beratnya waktu harus bilang Regina
itu teman dari teman kelas saya dari Malang. Ini kan berat buat ngertinya, berat yang lain pikir
sendiri. Akhir cerita, sore itu Regina dikenal juga oleh pastor. Dari
kesempatan pertama itu, Regina makin sering nongol di pelataran dan ruang tamu
rumah kami. Awalnya masih mencari mencari Christian tapi selebihnya siapa aja
bisa jadi teman cerita bahkan pastor. Namaku kadang tetap jadi bahan cerita
yang mengundang tanya.
Malam setelah itu, panggilan darurat
kembali atas namaku. Pertemuan dadakan itu masih diawali doa dan si pastor
memintaku berdoa Hail Mary.
“Pangalamanku menilai mereka sebagai sahabat saya.”
Kutarik napas panjang menunggu tanggapan balik. Namun si Pastor hanya diam dan
tersenyum dan lanjut bertanya.
“Apakah tidak ada yang spesial bagimu dari antara mereka?”
Pertanyaan ini menikam dan jawaban singkatnya adalah
tidak ada. Namun, si Pastor meminta penjelasan (cerita).
“Bagaimana dengan Regina?”
Dalam bingung, ingin kubuat kisah sependek-pendeknya. Regina
satu dari sekian wanita Katolik, cantik, aktif di gereja dan banyak embel bisa
diberikan. Saya tidak pernah katakan saya suka padanya.
“Apa bisa ceritanya diperjelas?”
“Apa bisa saya diberikan waktu untuk memikirkan hal
ini? Saya minta seminggu.
“Bukankah itu terlalu lama?”
“Bapa Pastor saya ingin pikirkan lebih matang.”
“Tiga hari”.
Ya tiga hari tak akan kuberikan kabarku
untuknya. Kuhabiskan waktu memikirkan jawaban dan refleksi tentang aku, Regina
dan panggilan. Memang Regina saat itu ada di antara aku dan panggilanku. Ingin kusisihkan
itu sebisa mungkin tapi sampai hari ketiga ini Regina masih belum pergi. Diamku
membangkitkan rasa bersalahnya hingga senja ini ia memaksaku bertemu. Aku dan
regina di tempat makan dekat gereja. Ia menunggu di sudut ruangan tampak
terencana.
“Tadi saya menemui pastor.”
“Oww ya.
Dimana? Untuk apa?”
“Di sini, di tempat dudukmu itu, hanya untuk sebuah
pengakuan.
“Pengakuan apa? Ini kan bukan tempat pengakuan?”
“Saya hanya mengatakan padanya saya jatuh cinta
padamu.”
“Kenapa kepadanya?”
“Kenapa kau tidak mengatakan padaku? Dia lebih baik
untuk menjaga rahasia.”
“Saya tidak ingin menyakiti diri sendiri lagi dengan
perasaan saya.
Haruskah jatuh cinta menjadi rahasia saat bercinta
dijadikan bahan cerita banyak orang?
Saya tidak akan mencurimu dari Tuhan yang seharusnya
saya serahkan diri tapi belum mampu. Kami diam sesaat, ia memesan minuman. Malam
itu Regina membawa saya masuk ruang pengakuan. Pengakuan bahwa saya memiliki
rasa.
“Minuman habis kita pulang ya”, kataku
padanya. Malam ini cerita bersama pastor akan dituntaskan Regina tersenyum
mengambil tasnya lalu kami berpisah.
Rasanya berat tapi saya harus masuk. Tentu
Regina tak bersamaku saat itu, hanya nama dan pikiran tentang Regina ikut
bersamku masuk mengadap Bapa Pastor. Saya masuk ruang kecil untuk sebuah cerita
dari hati ke hati. Pertemuan ini memang sungguh pribadi. Dalam hati memang
sungguh berharap dapat pencerahan. Malam itu ceritaku berakhir di jalan pulang
saat kami berpisah. Aku dan regina memang beda arah. Malam itu Regina menunggu
lagu itu berakhir dan tidur.
Comments