BIBIR JALAN

AKU lahir di bibir jalan. Aku dan jalan begitu dekat. Aku percaya bibir jalan menjagaku dan bahu jalan tak melukaiku. Jarak aku dan bahu jalan hanya selangkah walau saat itu roda kendaraan menggilas aspal cepat. Rumahku persis di ujung kampung dengan jalan menurun. Banyak kendaraan lalu-lalang. Suara kendaraan melaju tak mengganggu, bunyi klakson menambah semangat, kendaraan yang berhenti terasa seperti seorang akan mengunjungiku. “Bagaimana aku tak percaya pada bibir jalan?” Aku selalui diberi kejutan. Bukankah semua anak suka kejutan.
Aku senang duduk di bahu jalan merasakan sisa hangat matahari yang masih melekat. Kadang aku bercakap-cakap di bibir jalan bersama teman-teman. Hampir semua kendaraan yang lewat membunyikan klakson dan ayahku mengangkat tangannya. Kadang ia menyapa supir, kadang penumpangnya, kadang kendaraan-kendaraan itu berhenti dan mereka bercerita sejenak. Kejadian ini berulang.

“Ayahku sepertinya mengenal mereka semua. Mungkin mereka punya bisnis dengan ayah”. Pikiranku menerka-nerka. Ketika ayah dalam di rumah, saya bermain di bibir jalan bersama beberapa teman. Kendaraan-kendaraan itu tetap saja membunyikan klakson Kejadian ini juga berulang dan ayahku hanya bersuara dari dalam rumah. 
***
Beberapa hari ini ayah tak di rumah. Aku masih senang bermain di bibir jalan yang hangat. Banyak anak dari kampung yang jauh turun ke pinggir jalan. Berdiri di pelataran rumaku sekadar melihat mobil. Kerap mereka menghitungnya sebelum membeli sesuatu di warung kecil kami. Ini sungguh kerinduan anak-anak yang rumahnya di balik bukit atau di tengah kebun. Saya lahir di bibir jalan tapi kebiasaan kami sama, menghadap jalan dan menatap mobil yang berlalu. Aku bisa bercakap di bibir jalan karena ayahku. Aku tak takut karena aku tahu setiap mobil yang akan memasuki area ini membunyikan klakson yang tampak seperti moncong corong minyak di warung kecil kami. Saat klakson berbunyi kami akan menepi sambil berteriak memanggil nama, sopir, kenek, yang sudah kami kenal. Sang sopir mengangkat tangan membuang recehan, kadang bonbon[i]Bunyi klakson, angkat tangan, teriakan nama mobil, menyapa sopir, menjadi kejadian unik kala itu. Kejadian ini berulang dan menjadi bagian dari cerita di jalanan kampungku. Kami saling kenal dan bertegur sapa.
***
Suatu hari jalanan sepi. Matahari pagi menyentuh bibir jalan yang terbuka lebar. Tak ada anak-anak yang bermain di jalan, tak ada yang memanggang tubuhnya di sinar yang menyentuh aspal. Bus pagi pertama masuk kampung perlahan. Sang sopir menbuka kaca busnya. Sang kenek menggantung di belakang sambil menyebut tempat tujuan akhir bus. “Ende… Ende…Ende. Teriakan itu, akhirnya perlahan menghilang bersama sepi yang menyelimuti kampung. Hal aneh ini ditanggapi serius. Sang sopir tak ingin membunyikan klakson lagi. Suara mobil berhenti dan ayahku keluar. Sang sopir pun turun dari mobilnya.
“Ada apa, ame[ii]? Tidak ada orang, jalanan sepi, dimana anak-anak?”
“Beberapa ekor anjing di kampung mati tanpa sebab yang jelas. Sebagian mulut anjing berbusa. Semuanya mati di jalan, makanya anak-anak kami larang untuk bermain di jalan.”Jawab ayah sambil mengelus bangkai anjing kesayangannya.
Ame tidak ke Ende?” tanya sang sopir.
“Saya ingin mengubur anjing ini.” Jawab ayahku lemas.
“Anjing itu hanya keracunan. Kepala dan isi perunya dibuang tapi bagian lainnya dimasak saja, Sekarang banyak kejadian seperti ini. Banyak anjing mati karena potas, yang buat hewan mati keracunan dalam hitungan detik,” kata sopir itu menjelaskan. Setiap hari Rabu ayah ke Kota. Dalam hati Aku berharap hari ini ayah akan ke Kota. Bus itu menunggu ayah beberapa menit kemudian meninggalkan kampung. Aku bersorak dalam hati. Aku dan teman-teman akan ke bibir jalan.
***   
Ayahku pulang lebih cepat dari biasanya. Ia mendapatkan aku bercengkrama di bibir jalan. Ia memanggilku bermain di halaman. Aku dan teman-temanku menuruti panggilan itu. Namun kami bingung dengan alasan ayah.
“Jalan kini dalam bahaya, jadi sementara waktu jauhi jalan.” Kami makin bingung soal menjauhi jalan. Bibir jalan dan halaman kami setingkat, berjajar tanpa batas yang jelas. Inilah membuat kami merasa jalan dan halaman adalah tempat bermain kami.
“Kamu harus berhati-hati dengan makanan yang bisa saja jadi racun. Hati-hati dengan mobil yang bisa juga tabrak lari.” Kata ayah memberi penjelasan.
“Apakah sopir-sopir yang memberi tumpangan gratis, uang, akan meracuni kami?
“Apakah ia tak butuh bantuan kami yang menambal lubang dijalanan atau memotong kayu yang menghalangi jalan di musim hujan?” Kami melempar tanya sebelum meninggalkan bibir jalan.
***
Seminggu berlalu. Menjelang malam, ayah pulang dari kebun, aku sedang menemani ibu di dapur. Ayahku memang selalu melakukan hal-hal biasa yang karena kebiasaannya aku merasa bahwa ia semakin luar biasa. Hari ini ia membawa pulang bekal umbi-umbian yang siap dimakan untuk aku dan ibu yang sedang memasak. Ayah mendekatkan bangku kecil di samping ibu lalu bercerita. Suara ayah pelan saat bercerita tentang nasib anjing. Aku membayangkan kata-kata ayah.
“Semalam, saat jalanan sepi, sebuah mobil pick-up terbuka melewati jalanan kampung. Saya, masih di dalam warung. Hanya jendela kecil menghadap ujung jalan di samping yang dibiarkan terbuka. Lampu rumah redup menunggu waktu tidur. Pick-up itu melaju pelan. Pick-up yang pertama membuang sebungkus makanan yang tumpah di badan jalan. Bau makanan memmancing Kela menghampiri bungkusan di jalan. Belum sempat berlari membawa pergi, Pick-up yang lain menyusul menghentikan langkah anjing di badan jalan. Suara erangan hanya sekali. Pick-up itu berhenti dan pergi. Ayahku menyalakan lampu rumah dan memeriksa lokasi yang hanya sisakan bekas darah. Gelap. Seminggu yang lalu, mobil berhenti di tempat yang sama sebelum paginya orang-orang kehilangan anjing.”
***
Seminggu berlalu. Bibir jalan masih menarik dan cerita ayah telah hilang dari ingatanku. Di bibir jalan kami melewatkan hari, menimbah semangat juga bahagia. Kami memungut kerikil kecil untuk belajar berhitung. Kami kembali bermain di bibir jalan dan bahkan lebih gila. Kami berkejaran hingga ke badan jalan. Kedekatan kami dengan jalan dan kendaraan kini jadi perhatian orang tua. Namun bagi kami jalan adalah permainan, bahkan pengetahuan tambahan kami dapat dari jalan. Kami belajar membaca nama mobil, dengan melafalkan abjadnya. Kini hanya mendengar suara mobil kami bisa membayangkan nama mobil, nama sopir bahkan keneknya. Kami berlari ke bibir jalan untuk memastikan apakah kami perkiraan benar.
“KELIMUTU”, temanku berteriak.
Serentak kami menyahut sambil tertawa, “Kelihatan Mukamu Tua.”
Tak lama waktu berselang kami menjauhi jalan sebelum bunyi klakson kembali terdengar dan kami berteriak senada.
AGOGO, Ayo GOyang-Goyang.”
Tiba-tiba mobil putih panjang dengan bunyi gas yang kasar lewat. Tulisan di sisi bodynya cukup besar, DAMRI. Seorang teman membacanya. Kemudian semua diam. Tak ada yang tahu. Kami duduk di bibir jalan dekat tumpukan pasir tempat kami bermain mobil-mobilan sambil meniru suara kasar yang baru kami dengar.
“Dekati Allah Minta Rido-Nya,” seorang teman memberi kepanjagan yang baru ia buat.
Kami tertawa lagi.
“Ramai bukan? Tapi kenapa mulai besok kami dilarang bermain di tepi jalan?”
***
Keesokan harinnya, Kami masih nekat bercengkrama di bibir jalan. Tiba-tiba ibu memanggilku masuk. Di luar rumah anjingku menggongong, saat sebuah mobil pick-upkembali berhenti untuk menjual ikan di depan rumah. Penjual tampak serius, wajah memerah, tapi ia tetap diam. Bibir jalan bisu, tak juga senyum mendengar gongongan anjing kampung. Ia tahu persis makna gonggongan anjing. Anjing sekampung mengerumuni mobil seakan ingin menghabisi isi mobil itu. Penjual itu ketakutan. Aku lihat mata penjual itu tajam. Ia pun tak berani berteriak seperti sedang berjualan di pasar. Anjing-anjing merapat. Pagi ini tak ada pembeli. Aku keluar. Cerita ayah semalam jadi sedemikian hidup saat melihat mobil dan penjualnya. Tatapan penjual itu pasti akan meracuni anjingku. Bamper mobil yang di dekatnya menghancurkan kepala anjingku. Aku panggil anjingku masuk rumah. Namun, kulihat beberapa anak masih bermain di teman-temanku mengajak bermain di tumpukan pasir dekat bibir jalan. Anak-anak memang tak terlalu repot dengan masalah.
Pada hari terakhirku di kampung, aku pun masih aku punya kesempatan merapat di bibir jalan. Kami semua mendekat ke sisi yang lain jalan itu. Bercak darah segar tertinggal di badan jalan. Sisa makanan dan potongan roti berserakan. Kami hanya memandang penuh heran. Temanku berlari pulang membawa cerita ke tetangga sebelah rumah yang masih mencari anjingnya. Ia melihat anyaman lontar yang biasa ia lihat di leher Blacky, anjing milik tetanggaku. Kehilangan Blacky masih menjadi dugaan antara mati diracun atau tabrak lari dan dibawa pergi.
Malam ini, setelah waktu yang lama aku kembali ke kampung. Aku tiba di bibir jalan  dan mengambil ongkos tapi orang yang di hadapanku tersenyum. Senyumnya persis bibir jalan yang dulu bercengkrama denganku. Sebelum aku membalas senyumnya, ia berkata, tak perlu bayar lalu pergi. Aku terkejut, saat anjing menggongong bertalutan dan aku mendengar langkah orang berlari mendekat. Ini persis kabar saat orang menyerang pikc-up yang dikira maling. Aku bingung menyebut nama, anjingku tapi tak ada pengaruh. Aku makin bingung, suara mobil telah jadi kebiingan yang menggangu bagi warga juga anjing. Apa yang salah, gonggongan anjing atau orang-orang yang tak mengerti artinya? Aku menunduk ke bibir jalan, meraba-raba sembari berharap masih ada kerikil disitu.


Catatan:

[i] bonbon adalah sebutan untu candy atau permen.
[ii] Sapaan untuk orang tua laki-laki yang artinya sama dengan ayah. 

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK