“BUNGA,HARAM UNTUK IBU”



HIDUP itu penuh risiko. Jika kau tidak siap mengambil risiko, kau tidak akan belajar tentang hidup yang sesungguhnya, bahkan kau tak akan pernah menemukan cinta sejati. Orang yang siap mengambil resiko telah mulai mengambil satu langkah menuju mimpi. Inilah sekilas pandangan hidup yang ia punya saat masa sekolahnya berhenti di SMA. Kesempatan selanjutnya ia gunakan untuk siapkan diri mengambil risiko. Risiko itu nyata.
***
Risiko pertama yang ia hadapai adalah menikah muda. Pernikahan membawanya masuk suatu dunia baru, asing, dan ia tahu ada risiko di dalamnya. Ia sungguh menikah dengan seorang pria karena perbedaan. Perbedaan yang sungguh ia sadari penuh risiko. Baginya masalah adalah saat dimana ia tidak bisa menerima risiko. Ia wanita yang tak ingin membiarkan risiko menjadi masalah. Saat putri bungsunya lahir, perbedaan hampir jadi masalah bagi wanita itu. Pria yang menjadi suaminya ingin mengabadikan nama ibunnya. Iya wanita yang mengatakan apa yang ia pikirkan baik walau tetap saja wanita yang bisa menyembunyikan perasaannya.
“Weta[i], anak kita kasih nama Bunga saja. Nama ine[ii] saya.” Pria itu memberi usulan.
“Jangan Kaka’, Bunga akan haram untuk saya.” Nama bunga memang bagus untuk seorang wanita tapi bukan untuk putri kita. Wanita itu bahagia punya suami pengertian.
***
Risiko kedua ia rasakan kesepian membuat seorang ibu merindunkan anak-anaknya. Manusia lahir, besar, lalu berpisah. Anak laki-laki dengan ibunya dan anak perempuan dengan ayah mereka. Wanita itu melihat kembang Sepatu di luar jendela. Kembang tempat putri bungsunya bermain. Camelia Anita begitulah nama putri bungsu yang dipilihnya. Bagi wanita itu, Anita punya wajah seperti kakak sulungnya, rambutnya mirip kakak ketiganya, suaranya seperti kakak laki-laki yang lahir sebelum si bungsu, dan senyumnya meniru senyum kakak wanita satu-satunya. Anita menghadirkan keempat anak yang lainnya.  Wanita itu masih bermain dengan bayangannya sendiri.
“Selamat siang mama”, suara putri bungsu yang baru pulang dari sekolah. Suara itu menghentikan pikiran yang tengah membawanya pada kenangan. Sapaan itu membuatnya sadar bahwa dirinya kini seorang ibu dari lima orang anak. Suara itu membawa juga wajah putra keempatnya.
“Siang Anita, mama di sini”, suara itu terdengar dari arah dapur yang terpisah dari rumah utama.
“Mama, apakah saya dilarang makan daging anjing?”
“Anita, kamu anak-anak bisa makan. Kenapa? Apakah Anita sudah makan?”
“Iya mama, saya makan dan rasanya lumayan enak.
Mama, kenapa semua ibu di kampung kita tidak makan daging anjing?
“Kenapa perempuan tidak bersatu melawan aturan?”
“Aturan dibuat bukan untuk dilanggar tapi dimaknai.”
Semua diam. Dapur sepi. Api tetapi menyala dan asap masih mengepul keluar celah dinding.
Apa mama pernah makan sebelumnya?
***
Putrinya ini membawa ia pada kenangan yang sempat ia catat sebagai risiko menjadi seorang istri seorang pria ata Lise[iii]. Sehari sebelum pernikahannya, itulah saat terakhir wanita itu merasakan masakan daging anjing. Wanita itu mungkin sudah lupa rasa dari potongan daging yang terakhir kali ia cicipi 25 tahun yang lalu. Soal rasa memang tidak bisa diperdebatkan. Namun rasa yang sudah disimpulkan nikmat itu, sudah ditinggalkannya. Saat itu ia baru selesai Sekolah Menengah Atas, masih begitu muda saat dinikahi seorang pria dari desa. Di desa itulah, ia menerima sekian larangan.
“Apakah kalau saya menikah nanti saya akan dilarang juga?”
“Ibu tak tahu, ibu tidak pernah mamikirkan ini sebelumnya. Mama doakan semoga ini tidak akan dilami oleh anak, mama.” Anita tersenyum. Wanita itu mengingat senyum yang persis putri tertuannya.
 “Bagaimana kalau kita melanggar?”
“Larangan harus dijauhi dan setiap pelanggaran punya risikonya.”
“Mama, apakah semua orang tua di sini punya haram?”
“Iya semua. Ayahmu haram pisang, Opamu haram ubi kayu, yang lain haram, beras merah, haram ayam, haram binatang bersayap, haram jagung, haram hewan air, dan masih banyak lagi.”
“Untung, kita tidak haram untuk lihat dan menyebutnya. Coba mama banyangkan bapa haram lihat pisang. Pasti tidak ada pohon pisang yang tumbuh di sini. Anita juga tidak akan makan pisang.” Kata putrinya sambil tertawa.
“Mama pernah melanggar?”
“Pernah.”
Pikiran wanita itu melayang mengenang kejadian yang terjadi beberapa bulan setelah pernikahannya. Ada luka yang berawal dari rasa gatal yang membuat ia garuk. Kejadian itu membuat orang kampung percaya bahwa ia akan mendapat tanda pelanggaran. Inilah yang diyakini sebagai akibat salah nggua[iv]. Ia harus menjalani ritual untuk menyembuhkan juga memurnikan pelanggaran adat yang dibuatnya. Mereka mengatakan kemungkinan bahwa ia salah mengambil makanan yang terkontaminasi daging anjing. Ritual itu membawanya pada pengetahuan akan sejarah yang mengaitkan cerita para leluhur dengan anjing.
***
Pernikahan membuat wanita itu, belajar menerima semua risiko dalam hidupnya dan menjadikan ia taat pada adat di desa yang telah menjadi rumahnya. Sekarang adalah saat untuk mensyukuri anegerah lebih sering, dan percaya bahwa hidupnya adalah sebuah panggilan. Paling tidak panggilan yang mengajarnya lebih realistis dengan risiko-risiko. Baginya masalah adalah saat dimana ia tidak bisa menerima risiko. Risiko adalah kesempatan yang mendekatkan dia dengan mimpi-mimpinya. Ia masih ingat benar kalimat itu.
“Apa lagi larangan untuk mama?”
“Sebagai istri mama, dilarang menyebut dan memanggil nama mertua”. Wanita itu menikmati setiap pertanyaan putrinya. Ia ingat persis saat putra sulungnya seusia Anita, punya banyak pertanyaan dan cerita.
“Mama banyak teman saya punya nama yang diambil dari oma mereka.
“Siapa nama Oma?”
“Kenapa saya tidak diberi nama seperti nama oma? Wanita itu diam. Ia merangkul putrinya.
“Nama omamu terlalu indah, ibu ingin menyapanya, tapi haram. Mama ingin menyapamu seperti namamu saat ini Anita. Bukan kembang. Kembang terlalu asing untukmu, sayang.”
***
Wanita tak melupakan rasanya. Ia masih menghayati aturan haram sebagai ujud setianya. Ia tak lupa untuk menyebut kembang untuk menggantikan bunga. Setiap kali melihat tanaman di depan rumah, ia menyebutnya kembang karena Bunga adalah nama wanita yang menjadi mertuanya. Wanita itu, tak ingin melawan adat untuk bisa mengucapkan kata bunga dan memanggil putrinya Bunga. Ia hanya ingin kembang yang telah ia tanam itu disiram sampai saatnya ia mekar. Ia  tak tahu kapan terakhir kali ia menyebut kata bunga. Bila sempat aku bertemu wanita itu, aku ingin bertanya padanya.
Kira-kira pertanyaan apa yang pas?



[i] Weta bahasa Lio artinya saudari.
[ii] Ine berati Ibu.
[iii] Ata Lise. Orang “Lise” adalah salah satu clan yang terbesar diwilayah suku Lio.
[iv] Salah Nguua. Kesalahan dalam urusan dan peraturan adat.

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK