“Malaikat Yang Terluka”


         LUKA itu milik penjahat. Beginilah persamaan yang dibuat di kota itu. Katanya, luka-luka setia luka adalah cabikan benda tajam ketika bertarung. Lagi kata mereka, menutup semua badan dianggap menyembunyikan sesuatu. Kalo dibuka dan luka-luka itu tampak mereka bilang, orang ini sungguh penjahat. Begitulah pikiran penduduk kota itu diinstal. Pikiran itu memakan habis nyali penduduknya tapi menumbuhan mental berpraduga bahkan keahlian untuk menuduh dan mencela.
****

“Jangan takut pada tuduhan karena kebenaran akan mencari jalannya sendiri. Kebenaran itu memerdekakan.” Pria itu mendengar suara samar dari rumah dengan bermenara tinggi. Pria itu tak berhenti sejenak lalu meninggalkan pelataran rumah bermenara tinggi menuju kota yang padat. Dalam angkutan umum yang tak ada AC, ia berpeluh panas, bajunya basah oleh keringat. Ia menunduk saat banyak orang menatapnya. Sebuah jacket usang  menutup badannya rapat. Ia mengeluarkan handuk kecil menyeka wajahnya. Rambut panjangnya tampak kering. Ia tampak waspada mengawasi mata pemuda membuntuti seorang gadis dan tentengannya. Pikirannya, buyar, saat seorang ibu menyodorkan kaleng menagih jatah sambil beryanyi dengan menggendong anaknya. Ia hanya tersenyum menyalami ibu itu sembari tanganya mengelus kepala bocah yang nampak takut padanya. Ia membayangkan ayahnya bangga mengulang nasihat, “anak kalau besar nanti jadilah pembela yang lemah”. “Beri perlindungan”, pikirannya memberi perintah. Ia mendekati gadis itu. Tiba-tiba, pemuda itu mengerang saat serentak ia didekati beberapa pemuda lalu kabur sambil meneriakan maling.
****
Di dekat halte pemuda itu turun. Perih. Bocah itu memandang sang pemuda lekat pada darah bercampur keringat basah di bajunya.  Pemuda itu melangkah di ujung lorong yang sepi, melihat luka di balik bajunya. Luka itu menganga seperti bibir yang ingin berkata, mungkin cerita tentang sakit saat kulitnya terbelah. Ujung luka itu bersentuhan dengan bekas luka lama yang sedikit menonjol. Mungkin kisahnya juga bersinggungan.
Lorong sempit tetap sepi sang ibu membuntuti pemuda. Ibu itu mengelurkan minyak kayu putih dan menuangkannya di luka pemuda itu. “Di kota ini, tidak ada malaikat yang terang-terangan. Jadi malaikat kau harus siap terluka.” ibu itu memberi penjelasan kemudian pergi.
“Hati-hati dengan lukamu. Di kota ini orang melihat luka sebagai wabah.” Kata ibu itu dari seberang jalan.
****
 “Di kota ini orang melihat luka sebagai wabah”, kata-kata itu melekat di pikirannya. Pemuda itu, letih dan berhenti di persimpangan jalan. Tiba-tiba soerang anak belasan tahun menabraknya. Keduanya jatuh. Tas tangan mewah jatuh terlepas dari tangan bocah itu. Gadis muda terengah-engah menghentikan langkahnya. Anak itu gugup dan bingung dengan darah yang membasahi baju pemuda itu. Mulut gadis mengaga hendak meneriakan maling. Anak itu ketakutan lalu lari. Pemudah itu mencegah gadis itu.  Gadis itu sambil mengambil tasnya hendak pergi.
“Apakah kau penjahat?
“Tidak, saya hanya terluka.
LUKA seperti itu milik penjahat.” kata perempuan itu lalu berbalik pergi.
****
 “Semua penduduk kota ini pemikirannya tak beda,” kata pemuda itu. Ia menutup kancing bajunya dan meninggalkan tempat itu. Ia menahan sakit sambil mencari alasan mengapa penduduk kota itu tak ingin mendengar cerita tentang luka. Ia menyebrang ke jalan yang dilalui ibu yang memberinya minyak kayu putih. Ia bertemu dengan seorang pemuda berpakaian layaknya salesman, sedang menghitung uang dari beberapa dompet.
“Dimanakah balai pengobatan luka?” tanya pemuda yang terluka itu.
“Di balik dinding tinggi itu”, katanya sambil menunjukkan jarinya. Pemuda melangkah cepat walau tangannya menggenggam luka.
****
Didepan dinding tinggi itu, para penjaga memberi keterangan bahwa dibalik dinding hanya balai untuk orang yang terluka.
Jadi bukan untuk berobat?” tanyanya dalam hati.
“Bukan berobat tapi demi kebersihan kota, tepatnya supaya kelihatan bersih.”
 “Mengapa semua yang penuh borok dimasukan di sini?”
“ Ya.. inilah cara kota ini menghindari wabah luka.  
“Kenapa tidak diobati?” tanya si pemuda.
 “Ini semua akibat salah tafsir”, kata penjaga lainnya.
Pemuda yang membawa lukanya itu, sadar bahwa malasah borok ini kian rumit. Dahinya berkerut saat mendengar kata tafsir.
“Tafsir?” tanya pemuda itu memastikan.
“B... bukan hanya soal salah tafsir. Ini soal tuduhan. Lelaki yang berkumis tipis melanjut penyataan temannya. Pemuda itu menghentikan kedua penjaga yang mulai berdebat itu.
“Okelah. Apa yang ditafsirkan salah?”
“Hanya sepotong cerita.”
“Apa boleh saya mendengarkan kisahnya?” Pemuda itu berdiplomasi.
“Tentu.”
Kedua penjaga itu saling manatap. Salah seorang dari mereka berkata, “Saya tak ingat persis cerita itu. Saya pernah mendengar cerita itu dibacakan. Cerita itu sudah jadi bagian dari kitab.
Pemuda itu hanya tersenyum lalu berkata.
“Apa kamu punya kitab itu?” tanya pemuda itu. Penjaga yang berambut gondrong masuk mengambil kitab itu dari dalam lemari dan mengebas debuh yang melekat di kulitnya. Ia memberikan kitab tebal itu, kepada temannya.
****
Butuh waktu. Temannya membolak-balik kitab itu tanpa hasil. Setelah menemukan cerita itu di akhir sebuah Injil keduanya berebut membacakan untuk pemuda itu. Kini ia mengalami kebenaran cerita leluhurnya bahwa pernah ada seorang miskin yang meninggal dengan tubuh penuh borok di depan rumah si kaya. Cerita itu akhirnya termuat dalam sebuah kitab yang baru dibacakan penjaga.
“Bagaimana tafsiran yang kamu dengar?”
Beginilah hasil salah tafsir dan tuduhannya.
“Pertama, orang kaya sulit masuk kerajaan surga. Kedua, orang kaya menjadi penyebab kematian si miskin dan peristiwa itu dimuat dalam harian kota. Banyak orang kaya protes dan menuduh berita itu fitnah. Sejak itu suplay obat luka berhenti dan luka menjadi wabah mengerikan di kota ini. Semua orang yang terluka dimasukan di dalam sini. Situasi ini dinilai perhasil menurunkan tingkat kriminalitas.”
“Bagaimana penafsiran yang benar?” tanya mereka.
Pemuda itu, diam merenung mencoba mengingat cerita dan penafsiran-penafsiran yang pernah ia dengar.
            Penduduk kota membenarkan tafsiran itu dengan melihat realitas sosial membesarkan jarak pemisah kaya miskin. Sungguh si kaya merasa tersudut tapi pangalaman tersudut itu sebenarnya masih milik si miskin, terutama yang terluka. Memang sulit mendapatkan orang yang memberikan arti baik pada luka. Apalagi menemukan orang yang percaya bahwa luka jadi bukti pengorbanan. Hal ini tak akan pernah dibayangkan penduduk kota ini.
****
             Pemuda itu, pamit meninggalkan dinding tinggi. Ia linglung  darahnya banyak hilang. Penjaga itu bersepakat memasukan ia ke balik dinding tinggi ketika menemukan luka di lengannya penuh darah dan sekian bekas luka di tubuhnya. Pemuda itu digiring masuk ke dalam gedung berdinding tinggi itu.
“Berikan obat luka dan aku akan berikan tafsiran yang lebih baik,” katanya.  Pemuda itu dibawa ke rumah sakit.
****
“Kejahatan apa yang telah kau lakukan untuk sekian lukamu ini?” beginilah pertanyaan pertama yang diajukan perawat.
Pemuda itu diam dan berkata, “Apakah ada kesimpulan lain untuk lukaku?”
LUKA seperti ini milik penjahat.” ia tersentak mendengar konklusi yang sama.
“Apakah saya memang penjahat?” tanyanya.
Sesaat menarik napas pemuda itu menjawab,” Ya saya penjahat. Kejahatan mendekati seorang wanita.” Perawat itu berbalik keluar dari ruangan.
“Siapa pemuda itu.”
“Penafsir,” kata penjaga yang membawanya.
Sang perawat itu kembali ke dalam ruang pengobatan.
“Apakah kau sungguh penafsir? Adakah tafsiranmu lebih baik?” perawat itu memberikan pertanyaan. Pemuda itu menyisihkan punggung bajunya lalu menunjukkan bekas luka-luka di punggungnya. Sang perawat itu kaget, gugup ketakutan lalu menjauh.  
“Apakah kamu pernah dengar cerita tentang seorang pemuda yang rela mengorbankan tubuhnya. Tubunya sungguh penuh bilur luka.
“Apakah Dia juga penjahat?” tanya pemuda itu.
“Ya. Dia penjahat bagi sebagian orang yang kemudian mendera-Nya.
“Di akhir cerita orang percaya bahwa Dia penyelamat” kata pemuda itu mengingatkan.
“Tapi apakah saya harus percaya padamu?” perawat itu kembali bertanya.  
“Bukan. Bukan padaku tapi pada luka-lukaku. Biar luka-lukaku bisa mendapat perawatan.”
“Ada banyak orang yang suka memberikan pertanyaan tapi mereka justru tidak ingin mendengarkan penjelasan yang juga jawaban. Adakah kamu mau mendengar?”
“Apa kamu dapat dipercaya?
“Meski kau tak percaya padaku, aku percaya padamu. Aku percaya bahwa kau bisa menyembuhkan lukaku ini.”
***
Lelaki itu merentangkan tangan dan menyisikan lengan bajunya. Sebaris goresan dan bekas lukanya muncul. Lelaki itu melepaskan kepalan tangan pada sobekan di lenganya. Gumpalan darah mengering di dalam genggaman dan melekat di kulitnya.  Ketika ia mengulurkan tangannya ke arah perawat lukanya mulai berdarah kembali. Perawat itu menatapnya takut.
“Kemarilah, tarulah jarimu di sini dan lihatlah tanganku, ulurkan tanganmu dan cucukanlah ke dalam lukaku, dan janganlah engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah”.
            Luka pertama saya adalah luka ketika saya terjatuh. Pundaku menghitam karena luka gesekan batu ketika menjadi pengangkut batu. Di punggung ini luka saat rumah kami kebakaran. Luka yang berdarah saat ini adalah karena wanita dalam bus kota tadi pagi. Dan luka terakhirku akan membekas di hati. Terluka karena saya akan terpenjara karena memiliki luka seorang penjahat.
Perawat itu menghitung luka-lukanya dan mengajukan pertanyaan. Ia membagikan cerita hidup di balik lukanya. Ketika perawat itu mulai membersihkan lukanya, ia berpesan kepada perawat itu. “Lukaku adalah goresan takdir yang telah jadi gambaran perjuangan. Percayalah saya bukan penjahat. Saya hanya salah seorang yang terluka.” Perawat itu kagum dengan tafsir pemuda itu memaknai LUKA. Penjaga yang membawanya itu masuk dan membawanya pulang.
“Datanglah kembali besok. Saya akan menunggu di sini mendengar ceritamu dan mengobati luka-lukamu.”
Keesokan harinya perawat itu didatangi oleh korban luka. Ia dipanggil ke ruang pengobatan. Ia segera ke ruang berharap mendengarkan cerita yang terputus. Sebelum masuk ruang pengobatan perawat itu mengambil buku catatan untuk mencatat kisah pemuda itu. Ia kaget. Pemuda itu bukanlah orang yang ditunggu. Pemuda kurus datang dengan luka membawa keterangan berobat dari kelurahan karena warga telah salah kaprah menghajarnya. Sore menjelang pemuda perawat itu masih menunggu.

“Dalam dinding tinggi itu, tak akan ada obat apalagi perawat cantik. Hanya LUKA yang terlihat,” perawat itu mengenang.  

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK