Biarkan Saya Menangis Lagi

RUANGAN kecil itu, tempat orang mengadu apa yang tak bisa mereka suarakan di lorong kecil atau jadi gosip saat makan tiba. Hampir semua orang yang masuk ke dalam ruangan itu keluar dengan mata memerah dan bekas air mata di pipi mereka. Inilah Sabtu pertama, pertemuan pertama, tapi tangisan itu bukanlah yang pertama. Mungkin akan  ada Sabtu lagi dengan iringan tangis yang lain. Jangan bosan melihat mereka menangis.
***
Lelaki tua dan seorang pemuda berjalan melewati lorong-lorong kecil memasuki kawasan kumuh dan terbelakang. Yang letaknya memang paling belakang, di belakang perumahan yang mengitari kumpulan rumah sempit.  Pemuda itu mengikuti langkah lelaki tua tak jauh, menuju jalan yang kian jauh kian sempit. Hari itu sabtu, hari keenam menjelang istirahat panjang, saat akhir dari semingggu kerja. Di pemukiman ini istirahat dan kerja tak jelas batasnya. Dari rumah sempit milik Lisa, dari tempat pemuda itu duduk, ia melihat orang kerja dan bermain, karoke dan berdoa, tidur dan mabuk, tertawa dan di menangis.
Lelaki tua itu berhenti di depan sebuah rumah kecil. Anak-anak berhenti bermaian dan memanggil wanita yang tengah berbaring dalam rumah. Dengan wajah letih, keringat melekat, wanita itu bangkit dan membangunkan gadis kecil yang tertidur di dekat kakinya. Gadis kecil itu, bangun lalu menangis.
“Selamat sore, silakan masuk, Bagaimana kabar?”
“Seperti yang kau lihat, saya masih bisa mengunjungmu Lisa.”
Anak-anak kecil menatap heran pemuda di samping lelaki tua, sebelum lelaki yang bersamanya memperkenakan pemuda itu.
***
Satu per satu bocah meninggalkan halaman sempit di depan rumah Lisa, ibu setengah baya itu. Beberapa dari mereka mungkin anak-anaknya. Wajah mereka mirip dan mata mereka beradu tatap seperti mengatakan sesuatu sebelum meninggalkan halaman sempit. Anak-anak itu pulang dan beberapa ibu bersama mereka. Pemuda itu kagum, “mata bisa mengatakan apa yang diucapkan bibir.” Rumah wanita itu penuh seketika.
***
Di sebuah ruang kecil yang sungguh kecil hanya untuk duduk berdempet beberapa orang. Lelaki tua itu mengambil lembaran-lembaran terpisah dari balik tas tangannya. Ia membagikan lembaran itu dan meminta pemuda itu membacanya. Sebelum membaca pemuda itu memandang lelaki tua yang saat itu juga mengangkat alis matanya. Pemuda itu dengan jelas melihat mata lelaki tua itu memerah. Isyarat terbaca dan suara pemuda itu mulai mengucap doa dan isi lembaran itu. Lelaki tua itu kemudian mengundang ibu-ibu itu bercerita.
Dari seberang, Marta melihat dari jauh ke dalam rumah. Ia mengamati bagaimana kertas itu beredar, ia melihat orang-orang bicara, Ia melihat  seorang anak menatap wanita dihadapannya lalu ikut menangis. Mungkin wanita ibunya yang menangis karena iba melihat anak yang belum tahu siapa ayahnya. Ketika banyak yang menangis Marta datang mendekat melintas di depan rumah. Ia ikut bodoh dan melongoh seperti bocah-bocah yang mendengar cerita ibunya tapi masih bingung kenapa banyak orang menangis. Sampai anaknya sendiri menangis di antara kerumunan. Ia kemudian mendekat, mengendong anaknya sembari berharap tangisan itu akan berhenti. Bocah itu menangis kian kencang. Ia juga tak tahu kenapa anaknya menangis.
***
Ibu-ibu itu menangis setelah mencurahkan pangalaman yang isinya masalah dan perpsoalan yang berujung air mata. Ya air mata menggantikan kata-kata yang tersisa tak selesai terucapkan. Mereka punya saat untuk menangis. Tangisan mereka saling mengundang satu kisah untuk yang lain, seorang kepada yang lain. Mereka menangis tanpa suara. Hingga ruangan kecil itu dipenuhi mata yang memera. Pemuda itu pun bingung ketika pertemuan selalu dilinang air mata. Sulit baginya untuk meneteskan air mata dan pertanyaan rupanya lebih mudah dilontarkan.
“Mengapa mereka sering menangis?”
“Mereka menagis untuk menunjukkan bahwa ada kesulitan yang harus mereka hadapi dan sesuatu yang mesti mereka perjuangkan. Air mata itulah yang membuat mereka tak kering melihat hidup.”
***
Sebulan telah lewat. Pemuda itu masih mengikuti langkah lelaki tua masuki perumahan kumuh. Keduanya mengunjungi rumah-rumah berderet dengan ukuran minimal untuk satu keluarga. Lorong kecil, rumah kecil, dan kali ini tentu bukan rumah Lisa. Genangan air limbah cucian merembes di jalan, dan kotoran, sampah, berserahkan, seperti koin-koin yang dileparkan anak-anak yang bermain judi kecil-kecilan.
Di tikungan pertama lorong itu, anak-anah ramai bermain. Mereka terhenti saat lelaki dan pemuda itu tiba. Beberapa dari anak-anak itu berkomentar kecil, mata merah, pembawa berita duka, sementara sebagian meniru tangisan ibu-ibu. Ketika tangisan tiruan anak-anak itu beriring mengikuti beberapa langkah mereka pemuda itu membalikan pandangan ke arah anak-anak. Mereka tetap saja meniru tangisan itu, bahkan ada yang menjadi tangis sesungguhnya. Tangisan itu terdengar makin jelas sepanjang lorong. Setiap ibu yang mendengar tangisan itu, akan mengingat masa kecil mereka, dan anak mereka yang menagis minta makan atau pun jajan. Lalu ibu ibu-ibu itu pun ikut menangis sembari memanggil-manggil mencari anak-anak mereka.
***
Lelaki tua itu, tetap melangkah sambil menyapa orang-orang yang di sisi lorong. Di pertigaan jalan di ujung tikungan anak-anak itu muncul dengan tangisan tiruan di hadapan lelaki tua. Pemuda yang bersama lelaki itu mengajak mereka ikut., tapi tangisan mereka tak berhenti. Marta membawa cuciannya ke aliran air di ujung perumahan mendengar tangisan itu, mendekat. Di pertigaan itu, mereka semestinya berpapasan. Namun, Marta mengatai anak-anak itu dari jauh.
“Siapa yang mati, bocah cengeng?”
Anak-anak pun menghilang berbaur di antara bocah-bocah yang asyik membuang koin. Mendengar suara Marta, beberapa rumah serentak menutup pintu dan masuk ke dalam rumahnya.
***
Lelaki tua dan pemuda itu tiba di rumah kecil, untuk seorang ibu dan dua orang anak yang juga masih kecil. Saat lelaki tua dan pemuda sudah berkumpul di rumah Lisa, Marta menyepi di kali kecil bersama cuciannya, ia tak ingin melihat orang menangis. Sesaat kemudian, ia menyadari aroma air mata tercium pada aliran air itu. Air itu tiba-tiba meluap membawa kotoran. Ia membawa pulang cuciannya. Pikirannya langsung terarah pada lelaki tua di rumah Lisa. Ketika ia hendak meninggalkan tempat itu air itu kembali normal dan mengecil. Ia ingin mendapatkan mereka yang berkumpul dan menangis. Namun ketika ia tiba, ia mendapatkan mereka sedang tertawa ria dan bersenda gurau. Ia pun berbalik arah hendak meninggalkan tempat itu. Lisa melihat Marta lalu memanggilnya masuk. Marta hanya memanggil anaknya yang duduk di antara bocah-bocah sambil memegang kertas. Ketika keluar dari rumah anaknya malah menangis. 
***
Marta kembali ke rumahnya dan merenung di hadapan anaknya yang sibuk melipat-lipat kertas. “Tuhan mengaunerahi saya air mata dan saya telah menangisi kepergian suami saya sejadi-jadinya hingga tangisan itu masih terbayang. Saya tak ingin melihat tangisan dan menagis lagi. Namun, saya tidak bisa melarang dan menghentikan anak saya dari menangis.”
Marta memeluk anaknya dan menangis. Ia keluar dari rumahnya dengan mata memerah. Menunggu lelaki tua dan pemuda itu di pertigaan jalan. Namun, keduanya tak juga melalui lorong kecil itu. Marta kemudian ke berbalik ke rumah Lisa.
***
“Apakah nanti mereka akan menagis lagi?” tanya pemuada itu di tengan jalan.
“Mereka menangis untuk mengekspresi perasaan yang kadang seperti masalah. Ruangan dimana mereka menangis itu bukan  hanya ruangan kecil dengan aliran air mata. Ruangan itu, tempat terakhir untuk segala penat dan beban juga tempat pertama belajar berbagi. Ruangan itu menguatkan mereka dan mendekat kita satu sama lain.” Kata lelaki tua itu perlahan.
“Apakah di ruangan itu, saya harus menangis?”
Tidak! bisa menangis jika kamu mau tapi apa yang mau kau tangisi?” Jawab lelaki tua itu.
“Banyak orang menangis tapi tangisan sejati itu harus menagisi diri sendiri dan itulah yang mereka lakukan. Ini kata Sang Nabi ketika hendak dihukum mati. Kau Ingat itu?”



Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

SUNGAI TERKUTUK

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)