BUS MALAM DAN LELAKI TUA
AKU PERGI, sebagian sepi mengiring dan sebagian lain tinggal menyepi. Senja di jalanan tempat tinggalku sepi. Sepi yang asing, tak biasa. Sepi dari bunyi klakson, sepi dari langkah yang melewati jalan yang mulai remang. Dalam rencana perjalanan, hari ini aku pergi. Mungkin akan tertunda jika sepi tak berubah. Ayah dan ibu menyiapkan barang bawaanku. Aku masih memandangi sepi yang juga diam di dinding kamar mandi. Makan malamku juga sepi, hanya aku, meja, kursi, dan seperangkat alat makan. Untung sepi ini singkat. Semuanya tampak terburu-buru. Pergi dan sepi pun terburu-buru.
Hawa malam menyatu dengan bau kabut dan bumi gelap ketiadaan cahaya. Aku bingung dan termenung. Jalan yang sepi berubah riuh saat bus malam menyusur lambat dan berhenti tepat di hadapanku. Aku melambaikan tangan kemudian ucapkan selamat tinggal pada wajah dan juga sepi. Perjalanan ini tanpa kata, semua penumpang menikmati sepi. seakan memahami suasana hatiku. Aku rasakan ada sedih di hatiku. Tinggalkan keluarga tuk sekian kalinya. Namun, kali ini aku belum bisa pastikan kapan aku kembali? Bagaimana aku nantinya? Itulah tanya yang saat itu ada. Aku pergi, sebagian sepi mengikuti dan yang lainnya menetap.
***
Perjalanan menuju Maumere memang tidak begitu jauh. Topografi alam Flores berbukit-bukit dan laju bis malam di jalan berkelok-kelok membuatku tak tenang. Sepi akhirnya mengambil alih hatiku. Aku berontak tuk mengalahkannya. Sepi membuat pikiranku hidup dengan beberapa pengandaian.
***
SEANDAINYA yang pertama jika waktunya bukan sekarang dan aku tidak terburu-buru pergi. Seandainya bukan malam saat petani balik dari kebun membawa makanan babi. Saat adikku baru pulang memindahkan sapi. Saat ibu menunggu ayah mandi lalu makan malam. Seandainya musik yang diputar di dalam bus malam itu diganti dengan lagu yang lebih bisa dimengerti. Lagu Jamila yang memancing cerita tentang pesta selama liburan. Semua orang akan berikan komentar setidaknya tentang penyanyi atau pun lirik lagu. Lalu kami memulai percakapan tentang salah satu pesta nikah yang menyisahkan utang untuk tuan pesta. Dan, seandainya seorang gadis duduk di sisiku saat ini dan kami bercakap. Aku ingin serentak berhenti berandai saat itu lalu menanyakan dia mengapa dan bagaimana. seandainya volume lagu diperkecil dan pengandaian ini bisa terjadi, suara gadis itu akan terdengar jelas. Ternyata ini pernah aku alami dan yang tertinggal seandainya ini terulang.
Bus malam lengang beberapa tempat duduk kosong. Di seberang tempat dudukku, ada seorang lelaki tua. Akan kuajak lelaki tua itu bercerita, paling tidak cerita hidup saat usianya seperti umurku saat ini, 24 tahun. Tanpa berandai sebagian besar lelaki di daratan ini pernah merantau. Dan, lelaki yang di sisiku akan kutanyakan padanya bagaimana dan mengapa. Bagaimana ia menghabiskan usia mudanya? Pertualangan apa yang ia lakukan saat usianya sepertiku. Aku igin beranjak ke tempat duduknya tapi Bus Malam kami berhenti.
Lelaki tua turun dan menyalahkan rokok Gudang Garam Merah. Inilah perhentian makan malam bus Ende-Maumere. Rumah Makan Betania. Lelaki tua menghabiskan sebatang lalu masuk kembali ke dalam bus.
“Tidak Makan kah?”
“sudah makan pa.”
Lelaki tua itu meninggalkanku lalu masuk ke dalam Ruma Makan. Aku keluar dari bus dan menyalahkan rokok saya. Mataku menngikuti lelaki tua hingga ke meja makan lalu membiarkan dia di sana. Aku nikmati beberapa batang dan lelaki tua itu sudah berpindah ke meja yang lain. Di hadapannya ada seorang wanita yang tak muda lagi dan wanita yang lain ada di meja yang bersebelahan. Mereka tampak serius mendengarkan kemudian tertawa. Aku memang tidak melihat dia makan tapi saya melihat jelas dia berbicara.
Bus malam siap meninggalakan pelataran Rumah Makan Betania, lelaki tua beranjak keluar. Beberapa penumpang lain ikut di sisnya dan lelaki tua itu tak lagi bicara. Sebelum masuk ke dalam mobil aku sempat
menangkap kata-kata, “jangan lupa mampir kemari lagi.” Suara wanita itu mengakhiri obrolan mereka.
Comments