PEMANTIK

Kamis, 1/1/2015. Hari pertama di tahun ini masih penuh imajinasi lantaran anggur impor di malam pergantian tahun.Tak ada kopi pagi. Bantal masih dalam pelukanku hingga menjelang makan siang.Saat aku bangun kulihat tanaman di depan kamarku sudah lebih hijau, segar, danbersih. Bunyi petasan dan trompet sudah tak terdengar. Kulihat tanda perubahan.Dalam hatiku berkata, sungguh tahun baru untuk hidup baru. Aku melamun jauh dengan kepala sedikit merunduk di kursi depan kamar.Perasaanku didominasi oleh sepi yang datang dari langit. Sepi itu turun bersama kabut dan asap dari mercun dan kembang api malam pergantian tahun. Pagi ini awan kelabu berganti jadi rintikan hujan. Titik-titik airnya menghampiri tanah jadi basah dan

mendekap rerumputan dan bunga mandi dari debuh. Aku layu dengan mellow mood rintikan hujan. Inilah saat ketika sepi menjadi penyakit. Aku letih melihat pakaianku yang berhamburan. Sebagian pakaiannku di atas tempat tidur, yang lain tergantung, yang lain tergeletak di lantai, dan semalam aku pakai di sudut kamar.

***

Rokok sisa saat menunggu tahun berganti belum tersentuh. Beberapa pemantikcricket tergeletak di atas meja, merah, kuning, hijau, biru, dan abu-abu.  Pemantik ini tentu tak semuanya milikku. Tak tahu mengapa ada di atas mejaku. Kubawa semua pematik itu ke baranda. Baranda tampak tak seperti biasanya. Sepi. Tak ada seorang pun kecuali aku seorangdiri. Meja di beranda tampak kosong, takada puntung rokok, asbak, bahkan tempat sampah pun tak di situ. Aku pun merasa asing di tempat di mana kami melalui hari, menghabiskan waktu, membunuh sepi bersama. Di situ seorang memberi wejangan dan yang lain menyusun rencana. Disekitar meja yang kini kosong itu, kami bicarakan topik-topik menarik tentang missionaris, sosiolog, psikolog, politik, wartawan, seniman, wanita, dan pasti tentang cinta. 

Tak ingin berlama-lama ditempat itu, aku kembali ke kamar. Kembali ke kamar berarti masuk ke ruangan seperti kapal pecah. Ya… kapal pecah yang harus segera direhab sebelum letih jadi bosan untuk tinggal di kamaritu. Satu per satu barang dirapikan dan disimpan pada tempatnya. Kamar inikembali berbentuk ruangan seorang seniman dengan pasta, kwas, dan kanvas lukisan setengah jadi. Aku mendekat ke satu-satunya meja di kamar hendak merapikan buku yang tertumpuk di atasnya. Aku heran melihat beberapa pematik di dekat bungkusan rokok. Aku pindahkan rokok ke dalam laci meja. Kini pemantik coklat, putih, dan, hitam yang harus aku bawa ke baranda. Pisahkan rokok denganpemantik itulah cara termudah untuk menahan godaan yang sempat kupikir saatitu. Ini taktik menunda rokok. 

Rintikan hujan awet hingga sore. Kuambil sebuah buku yang baru mulai kubaca beberapa halaman. Buku itu sebuah novel tentang pencobaan. Aku lebih senang menyebutnya godaan. Membaca novel di hari hujan mengundang kantuk yang mengganggu kisah percobaan yang kubaca. Kutenggelamkan kantuk dalam kopi panas. Ketika aku ingin membakarnya dengan bara api rokokku aku sadar bahwa tak ada satu pematik pun tersisa di kamarku. Kucari lagi pemantik-pemantik itu. Aku berlari ke arah barnda dengan rokok di tanganku. Tak satu pemantik pun tampak.

Aku duduk di situ beberapa saat memandang hujan yang pasrah di terpa angin. Aku masih
duduk sesekali memandang bungkusan rokok yang sudah kuletakan di atas meja, pasrah tanpa pemantik. Bosan.  Aku kembali ke kamar. Kubuka novel itu melanjutkan bacaan tapi di meja yang lebih menggodaku, sebungkus rokok. Aku pindahkan rokok ke dalam laci meja. Aku sudah tergoda untuk sekiankalinya lalu mulai coba-coba. Aku mengenalnya dari tetangga dan teman-temanbeberapa tahun silam. Percobaan itu mulai dengan sembunyi-sembunyi menghabiskan uang saku untuk sebatang dua batang. Inilah percobaan tersukses yang membuatkumenyisikan uang sakuku dan menulisnya sebagai salah satu kebutuhan. Kisah ini memuncak saat aku merasa harus menggaulinya terang-terangan bakhan di hadapan ayah dan ibuku. Semuanya terjadi begitu saja hingga itu jadi kebiasaan yang nilainya mendekati sebuah ritual pengorbanan. 

Korban pertama adalah cinta dankorban lainnya adalah tubuh. Cinta dan tubuh mereka yang memberikan uang dantubuhku sendiri. Pengorbanan ini sudah cukup lama sampai rasa sakitnya terasasaat ingin berpisah karena aku terlanjur jatuh cinta.  Seorang yang bersamaku mengosongkan botol anggur semalam adalah perokokyang ingin mengakhiri ritual korban itu. Malam itu di jalan pulang kamimenghabiskan beberapa batang yang ia namankan batang terakhir, rasa terakhir,sentuhan terakhir. Aku sedikit ragu dengan janjinya. Aku senang dan selalutergoda dengan janji seperti aku tergoda dengan apa yang aku suka, salahsatunya merokok. Aku adalah salah satu dari mereka yang mengungkap janji sesering mungkin dan cukup meyakinkan tapi sulit berkomitmen. Janji seorang manusia itu rapuh seperti ego seorang lelaki atau hati seorang wanita. Malam sebelum meninggalkan baranda untuk rokok terakhir, ia memberikan sebuahpemantik kepadaku sebagai komitmennya untuk berhenti. Aku hargai janji itu dengan memasukan pemantiknya dalam saku celanaku.

***

Ini masih di hari kedua selepas tahun yang diakhiri dengan pesta. Bungkusrokok masih dalam laci meja. Pemantik-pemantik itu hilang entah kemana. Pagiitu aku kembali ke baranda dengan sebungkus rokok dalam genggaman. Aku harapmenemui seseorang dengan rokok menyala di sana atau paling kurang kutemuipematik di sana. Namun, baranda masih sepi dan bersih. Kehidupan baru timbul begitusaja dengan menempatkan bunga hijau dalam vas kaca. Jentik-jentik nyamuk tampaksenang tanpa abu dan asap.

***

Lantai dua bangunan ini di huni olehku bersama dua teman lain. Tiga hariini ruangan lantai dua tanpa cahaya, gelap, dan mati. Radio mati, lampu mati,kipas angin mati, dan hand phone mati. Kamar jadi makin sepi. Tiga hari inikamar saya diketuk setiap senja tiba. Tiga hari saya bertemu dengan dua orangyang sama dengan tujuan yang sama.Seharian ini aku di luar kamar hingga senja tiba, langit sudah sedkit gelap, kelelawar terbang rendah menabrak kaca.

Jam dinding gelap dan aku telat kembali ke kamar. Kudengar seorang mengetuk kamarku sembari memanggil namaku sementara yanglainya tampak duduk di depan kamar menungguku. Saat aku tiba di lorong menuju kamarku lihatada yang beda. Kemarin tangan teman saya yang tinggi langsing hanya memeganglilin,  sama seperti yang berambut panjang. Hari ini ada sebungkus rokok di tangannya. Si gondrong sudah siap dengan alat mandi dan handuknya menggantung di pundaknya. Dari lantai dasarseseorang meminta pemantiknya dikembalikan. Ia berdiri di depan pintu kamarnya, meminta api untuk sebatang rokok di tangannya. “Tidak ada pemantik teman,  coba minta di anak lain atau ke kapel saja biasanya ada pemantik atau korek api di sakaristi. ”Jawabku membuat mereka kembali masuk ke kamar masing-masing.Tidak ada pemantik atau pun korek api. Tidak akan ada cahaya lilin, api rokok tak akan ada, mandi dalam gelap, bicara dalam gelap, dan toilet dalam gelap.

***

Kuperiksa isi setiap saku celaka yang kupunya, berharap bisa menemukansalah satu pemantik di dalamnya. Celana panjang kotor dengan bau minuman kugantungdi balik pintu, di dalamnya aku temukan pematik biru bertuliskan, Cricket: Alwaysready to light. Aku tersenyum puas. Kuambil lilin dari dalam laci mejaku danmenyalahkannya. Cahaya lilin itu membias keluar kamar, menerangi dinding kamar. Kulihat diriku dalam baying yang melekat di dinding kamar. Aku menghadap laci terbuka dengan bungkus rokok yang tampak setengah terhalang buku. Aku terdiam seperti menatap raut wajah cinta pertama yang lama takberjumpa. Aku membakarnya demi hasrat yang tertahan sehari. Aroma tembakau menggoda, asapnya menerobos pintu kamar seorang teman yang mencari pemantik.

Tiba-tiba pintu kamar temanku terbuka dan kata pertama yang keluar darimulutnya tentu pematik. Kuberikan dia pemantik yang semalam ia serahkan sebagai tanda perjanjian yang memang tidak kekal. Perjanjian yang dibuat karena kamitelah menghabiskan beberapa botol anggur merah. Api lilin kian terang mengundang tetangga kamarku merapat mengambil api untuk ruang yang masih gelap. Kemarku kembali redup oleh bayangan di dinding kamarku yang kian bertambah. Kubayangkan janji itu seperi sosok bayangan yang hilang setelah pemantik cricket: Lights more. Last longer: kunyalahkan pada lilin-lilin di tangan tetangga kamarku. Setelah keduanya kembali membawa lilin di tangan mereka. Seorang lain datang tanpa lilin hanya sebatang rokok.“Hanya sebatanguntuk hari ini saja.”, katanya.  Aku tersenyum membakar rokok di bibirnya. Aku tinggalkan kamar menuju warung untuk beberapa bertemu penjaga warung. Aku berpapasan untuk kedua kalinya denganlelaki setengah baya di sudut yang sama. Ia mendekat dengan langkah cepat meminta api untuk rokoknya.

***               

Baranda tak lagi sepi setelahsebuah pemantik kutemukan kembali dan janji temanku menemukan ujian berat dariserangkaian godaan. Jangan masukan kami ke dalam percobaan tetapi beaskanlah darijanji-janji yang tak mungkiin kami penuhi. Aku langsung menuju baranda yang sudah bangkit dari kekakuan saat pengunjungnya mendapat pendupaan asap dan bauh rokok. Saat api rokok itu mati semua menatapku.

***

Aku sudah berikan pemantik itu untuk pemuda yang sendirian menanti api di sudutjalan tadi. Komitmen itu seperti cinta, tidak tergoda dengan yang lain tapi setia.Orang yang berkomitmen itu tidak cemburu tapi bahagia dengan pilihannya. Lelaki selalu punya egonya sendiri dan janji bukanlahlah komitmen. Itulah aku yang setiap hari memohon rahmat agar dibebaskan dari godaan merokok. 

Comments

Popular posts from this blog

“Lera Wulan Tanah Ekan” Dalam Kebudayaan Lamaholot

KAMIS PUTIH : (Ekaristi—Imamat dan Kehidupan)

SUNGAI TERKUTUK